BAB XXII : PENYERBUAN

856 73 14
                                    

 “Setiap buku adalah kutipan; setiap rumah adalah kutipan seluruh rimba raya dan tambang-tambang dan bebatuan; setiap manusia adalah kutipan dari semua leluhurnya.”

Ralph Waldo Emerson

Kaspar tidur cukup lelap semalam meski seharusnya pertempuran besok pagi akan sangat menegangkan. Nandi dan Sanjaya– yang berbagi kamar dengannya, atau lebih tepatnya ia yang berbagi kamar dengan Nandi dan Sanjaya– masih tampak terlelap ketika Kaspar membuka mata. Ia berniat membangunkan kedua orang itu namun urung ia lakukan. Lebih dari itu ia merasa seseorang yang lain tengah menunggunya di luar kamar.

Dengan sedikit berjingkat Kaspar keluar dari kamar dan di sana ia mendapati Damian – berdiri di depan kamarnya yang hanya ditutupi sebaris korden emas – dengan wajah pucat pasi.

“Damian, ada apa? Kenapa dari kemarin aku tidak melihatmu?”

“Kaspar, boleh aku ikut mengawalmu?”

“Aku sudah punya dua pengawal.”

“Aku tahu, tapi tadi malam ... tadi malam ... aku melihatmu terkapar berlumuran darah, sendirian di ruang utama Meja Takdir. Ada musuh kuat menantimu di sana.”

“Kalau memang benar ada musuh kuat di sana, sebaiknya kau tidak ikut aku Damian. Kalau kau mati, Sofia akan sangat kehilangan.”

“Di luar sana pun aku bisa mati, Kaspar. Aku pernah kabur dari pertarunganku dan dengan itu aku kehilangan harga diri. Kumohon Kaspar, jangan biarkan aku kehilangan harga diri lagi.”

Raut wajah Damian amat serius sehingga Kaspar pun tak kuasa menolak, “Baiklah Damian, empat orang masih cukup kecil untuk menyusup ke dalam bangunan itu. Ayo masuk, kau harus tanya peran apa yang bisa kau lakukan pada Sanjaya.”

Saat Damian dan Kaspar kembali masuk kamar, tampak Sanjaya dan Nandi sudah tampak terjaga. Ketika Sanjaya melihat kedua orang itu masuk ke kamar, langsung saja ia berceletuk, “Hei Nandi, ada dua Kaspar masuk ke kamar. Coba tebak yang mana yang Kaspar?”

“Yang kiri, yang rambutnya masih tampak acak-acakan,” jawab Nandi.

“Kok kau bisa tahu?” tanya Kaspar.

“Satu lagi, Damian punya tahu lalat di pelipis kanannya, dan kau tidak,” sambung Nandi lagi.

“Kenapa Damian kemari?” Sanjaya langsung mengalihkan pembicaraan selagi ia mempersiapkan senjatanya.

“Damian ingin ikut kita,” ujar Kaspar, “Apa bisa?”

“Tentu. Aku sama sekali tidak keberatan,” jawab Sanjaya.

“Apa kelompok kita tidak terlalu besar untuk melakukan penyusupan?” sergah Nandi, ada nada tidak suka dalam kata-katanya.

“Tidak, kelompok kita masih cukup ‘aman’ untuk menyusup ke dalam bangunan itu. Lagipula ... tambahan seorang penyihir ahli kurasa sangat membantu, siapa yang bisa menjamin tidak ada monster mengerikan yang menjaga bagian dalam bangunan itu?”

“Tapi –,” Nandi hendak memprotes keputusan Sanjaya.

“Kau keberatan aku bergabung Nandi?” Damian bertanya langsung kepada Nandi.

“Aku hanya mengkhawatirkan betapa Sofia akan kehilanganmu kalau sampai kau tewas.”

“Aku sudah  bicara dengannya Nandi. Jangan khawatir.”

“Kalau begitu baiklah,” Nandi beranjak bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil dua bilah sundang – Salaya dan Kanistara – yang tadi ia letakkan di dinding bersama-sama dengan pisau Drestha milik Sanjaya, “Ayo kita bersiap!”

Contra Mundi III - Master MahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang