Alam Semesta Versigi, Palangkaraya, Republik Indonesia Serikat
Nandi dan Sanjaya muncul dari sebuah portal dimensi berwarna biru tepat di belakang sebuah gedung museum. Suasana tampak lengang, udara panas nan berdebu mewarnai suasana siang yang terik itu, hanya tampak seekor kucing liar berwarna bertotol-totol hitam kelabu sebagai satu-satunya makhluk hidup yang menyambut kedatangan mereka.
“Hai,” Nandi melambaikan tangannya pada kucing itu sementara Sanjaya mendelik ke arah adiknya.
“Siapa yang kamu sapa?” tanya Sanjaya.
“Kucing itu,” Nandi menunjuk si kucing abu-abu yang dengan manja langsung mendekat ke arah Nandi dan mengusap-usapkan tubuhnya sambil mengeong pelan.
“Sejak kapan kamu ... suka kucing?” tanya Sanjaya keheranan.
“Oh ayolah Kak, aku suka semua binatang. Kau saja yang tidak pernah sadar,” Nandi mengelus-elus kepala kucing itu sejenak sebelum akhirnya melepasnya kembali. “Jadi kita ke mana?”
“Universitas Catu Cendana,” jawab Sanjaya singkat sembari berjalan keluar dari area museum itu. Nandi mengikutinya dari belakang. Meninggalkan gedung museum bergaya kolonial dengan cat dominan putih itu menuju jalan raya yang tidak terlalu ramai, hanya dilintasi oleh beberapa mikrolet dan sepeda motor.
“Taksi[1] Bang?” seorang sopir angkutan umum memberhentikan mobilnya yang berwarna dominan jingga, menawarkan dua bersaudara itu untuk naik ke mobil angkutannya.
“Ke kampus Catu Cendana berapa Bang?” tanya Sanjaya.
“Lima ribu satu orang.”
“Ah! Ikau – anda – tidak salah? Mahal sekali.”
“Di sini memang semua mahal Bang, itu saja sudah Itah – kita – kasih murah.”
“Sudah, ambil saja,” Nandi menyikut lengan kakaknya.
Sanjaya menoleh ke arah Nandi dan mengisyaratkan rasa tidak suka. Ongkosnya terlalu mahal. Begitu ia hendak menyampaikan soal itu pada Nandi namun adiknya itu tidak peduli dan langsung memberikan selembar uang sepuluh ribuan pada si sopir ‘taksi’ dan si sopir itu langsung mengisyaratkan dua saudara itu untuk naik. Dua bersaudara itu naik dan duduk di bangku belakang dan sesaat kemudian ‘taksi’ itu sudah berjalan melalui kota Palangkaraya yang tidak terlalu ramai. Melintasi Tugu Palangkaraya – sebuah monumen tugu putih dengan puncak berhias ukiran api berwarna keemasan yang dikelilingi tiang-tiang beton yang dibentuk mirip bambu runcing, hingga akhirnya tiba di sebuah kompleks bangunan yang tampak asri karena ditumbuhi berbagai pepohonan.
“Catu Cendana Bang,” sopir itu menunjuk ke arah bangunan itu. Mengetahui mereka sudah sampai, Nandi dan Sanjaya segera turun dari ‘taksi’ itu.
“Makasih Pak,” ujar Nandi ketika ia telah turun sambil tersenyum ramah ke arah si sopir dan si sopir balas tersenyum sebelum akhirnya memacu kembali mobilnya melintasi jalanan yang sepi.
*****
Sanjaya dan Nandi berjalan memasuki kampus Catu Cendana. Kampus itu memiliki banyak pohon yang rindang, antara lain glodogan, trembesi, angsana dan beringin. Jalannya dilapisi paving berwarna merah dan abu-abu yang ditata sedemikian rupa hingga tampak begitu serasi dipandang mata. Gedung-gedung di universitas ini rata-rata adalah gedung bergaya kolonial bercat putih. Rata-rata gedung-gedung ini bertingkat dua, walau ada juga yang bertingkat tiga.
Sanjaya dan Nandi memasuki sebuah gedung yang bertuliskan ‘Gedung Rektorat’ dan di sana Sanjaya bertanya letak Fakultas Ilmu Budaya. Seorang satpam segera menunjuk ke gedung yang ada di sisi timur Gedung Rektorat sebagai gedung yang dicari oleh Sanjaya. Sanjaya dan Nandi pun segera beranjak menuju gedung tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Contra Mundi III - Master Mahan
FantasíaMerupakan bagian akhir dari Trilogi Contra Mundi. Dalam bagian ini Nandi dan kawan-kawannya harus mencari sekutu-sekutu baru untuk membantu mereka dalam konflik pamungkas para Contra Mundi dengan para Tentara Langit. Tapi pencarian ini tidak mudah...