BAB XI : DIKELILINGI KEMATIAN

1K 77 7
                                    

“Every man should lose a battle in his youth, so he does not lose a war when he is old. ” — George R.R. Martin

“Adikmu itu tidak akan kenapa-kenapa kan?” tanya Rizal khawatir ketika mobil mereka menaiki tanjakan terjal, menaiki sebuah bukit.

“Tidak, jangan khawatir. Ia lebih tangguh daripada kelihatannya,” jawab Sanjaya. Ekspresinya datar meski hatinya gundah. Meninggalkan Nandi sendirian melawan para penyerang itu memang pilihan yang masuk akal, sebab hari sudah menjelang sore. Tapi dengan meninggalkan Nandi, ia memiliki perasaan aneh dalam dirinya, perasaan bahwa ia sudah melakukan kesalahan besar.

“Siapa sebenarnya kalian ini?” Randi yang tengah mengemudi bertanya dengan panik.

“Kalian biasa menyembah kami sebagai dewata,” jawab Sanjaya.

Wajah Rizal dan Randi langsung pucat. “Kau tidak sedang bercanda kan, Sanjaya?” tanya Rizal tidak yakin.

“Tidak. Sama sekali tidak,” jawab Sanjaya.

“Lalu siapa yang tadi menyerang kita tadi?” tanya Rizal lagi.

“Rizal, kau masih ingat dengan mitologi Inatiala?” Sanjaya balik bertanya.

“Dari Semenanjung Yucatan dan Italia? Tentu saja!” ujar Rizal.

“Masih ingat makhluk bernama Aggelos – Malaikat?” tanya Sanjaya.

Ekspresi di wajah Rizal tampak makin tegang, “Tolong jangan katakan kalau itu mereka.”

“Itu mereka.”

“Mustahil! Aggelos tidak mungkin eksis!” sanggah Randi.

“Percayalah Bung, kami sudah sering berhadapan dengan mereka. Berkali-kali,” sahut Sanjaya.

“Apa tujuan mereka kemari?” tanya Rizal lagi.

“Memenuhi nubuat kitab orang-orang Inatiala. Akhir zaman, kehancuran total atas bumi,” jawab Sanjaya.

“Omong kosong! Paravandaah tidak meramalkan begitu!” geram Rizal.

“Sekarang kau percaya pada ajaran Paravandaah, Zal? Mencari pegangan di dunia yang berubah dengan cepat dan penuh ketidakpastian, eh?”

“Oke, jika kau itu dewa Mas,” Randi menyahut, “Siapa kau?”

“Aku Dyaus Pita – Bapak Angkasa,” jawab Sanjaya, “Dan aku kemari untuk membangkitkan kembali para Prajapati.”

“Duh,” Rizal menepuk dahinya, “Bagus sekali! Terima kasih telah menyeret kami ke dalam pusaran konflik yang lebih ruwet daripada skandal politik dan ekonomi tahun 1997, Sanjaya.”

“Apa kau berubah pikiran untuk membantuku, Zal?”

“Tidak, aku tidak berubah pikiran. Asal –”

“Ya?”

“Kau bisa menjamin akan membawa aku dan Randi keluar hidup-hidup dari tempat ini. Janji?”

“Janji.”

“Baiklah, sebentar lagi kita sampai.”

Jip tersebut berhenti di atas puncak bukit yang datar. Seluruh penumpang jip tersebut turun dengan posisi waspada. Sanjaya menengok kanan-kiri, memeriksa kondisi sekitarnya sebelum ia tiba-tiba berseru, “TIARAP!”

Rizal dan Randi langsung menjatuhkan diri mereka ke tanah dan sebuah berkas sinar merah meluncur tepat sedetik setelah mereka tiarap.

Tangan kiri Sanjaya bersinar dan mengeluarkan berkas sinar kekuningan ke arah asal tembakan tadi. Suara dentuman terjadi, membuat beberapa ekor orangutan betina yang tengah menyusui anak-anak mereka berlarian panik menjauhi daerah itu.

Contra Mundi III - Master MahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang