BAB XII : DHARMAPALA

1K 60 0
  • Didedikasikan kepada Luisnafi Ayu Harso Sunaryo
                                    

“Jangan percaya begitu saja akan apa yang engkau dengar;

Jangan percaya begitu saja akan tradisi, desas-desus, atau banyaknya omongan;

Jangan percaya begitu saja hanya karena hal itu tertulis di dalam kitab agamamu;

Jangan percaya begitu saja pada kewenangan guru-gurumu;

Namun melalui pengamatan dan analisis, jika engkau temukan bahwa suatu hal sesuai dengan nalar dan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri dan semua, maka terimalah dan hiduplah sesuai dengan hal tersebut."

( Sidharta "Buddha" Gautama )

Alam Semesta Arvanda, Kotagede – Yogyakarta, Republik Indonesia.

Portal dimensi akhir-akhir ini sedang tidak mulus dan Ying Go benar-benar berharap tidak perlu lagi memakai transportasi ini untuk sementara waktu. Portal itu masih bisa membawa dirinya ke mana saja dengan cepat tapi guncangan dalam lorongnya akhir-akhir ini lebih parah daripada guncangan saat dirinya naik pesawat Hercules yang diterjang badai di atas langit Manado, Sulawesi Utara, beberapa tahun yang lalu. Guncangannya membuatnya nyaris muntah ketika ia keluar di sebuah gang sempit di kawasan Kotagede, namun ditahannya rasa itu lalu dipaksanya dirinya keluar dari gang itu menuju jalan raya.

Daerah yang ia lalui tampak lengang. Toko-toko yang biasanya buka dan menjual aneka kerajinan perak, kuningan, dan makanan semacam getuk, yangko, dan bakpia kini tutup. Jalanan sepi, bahkan satu bus pun tak tampak.

Ying Go berdiri di pinggir jalan lalu mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celana jeansnya dan mengirim pesan ke seseorang. Pesannya tak sampai – gagal terkirim, dicobanya kembali namun tetap saja gagal. Akhirnya ia memutuskan berjalan kaki saja menuju tempat yang ia tuju.

Yogyakarta bukan kota yang asing baginya. Ia lahir dan tinggal di sini sampai usianya 6 tahun lalu pindah ke Mataram – Lombok, lalu ke Pekanbaru, Semarang, sebelum akhirnya bermukim di Bogor. Ketika lulus pendidikan perwira, tugas pertamanya juga ada di kota ini, jadi dia sudah hafal betul jalanan yang harus ia lalui.

Kakinya melangkah melewati Kampus Universitas Cokroaminoto yang dipasangi papan tulisan ‘KEGIATAN PERKULIAHAN DIHENTIKAN SEMENTARA SAMPAI BATAS YANG BELUM DITENTUKAN’. Kemudian berbelok ke Jalan Batikan dan terus melangkah ke arah utara menuju Jalan Sultan Agung di mana ia jumpai sejumlah truk tentara yang berisikan prajurit-prajurit tengah melaju dengan kecepatan tinggi menuju kawasan Benteng Vredeburg. Di sepanjang Jalan Sultan Agung terpasang spanduk bertuliskan “KUNARPA BOLEH MEREBUT IBUKOTA JAKARTA TAPI MEREKA TAKKAN PERNAH MEREBUT YOGYAKARTA!”

Ying Go tersenyum simpul, Taufan – kawan lamanya – sempat memberitahunya bahwa untuk sementara ibukota RI kembali pindah ke Yogyakarta. Sejarah berulang. Batin Ying Go sembari terus melangkah menuju Jalan Malioboro – yang tengah diblokir oleh para prajurit TNI AD – dan di sana ia bertemu dengan sejumlah tentara – tampaknya tentara wajib militer – yang dengan wajah bocah mereka tampak sok garang menghadang langkah Ying Go.

“Berhenti!” seorang dari mereka mengangkat tangannya dan menyuruh Ying Go berhenti.

“Ya Pak,” jawab Ying Go sembari menahan senyum geli melihat tingkah ‘sok galak’ anak-anak muda itu. Berikan kuasa pada seorang balita maka kau akan membuat seorang diktator, berikan kuasa pada anak-anak muda yang semula tak punya kuasa dan tidak bermental prajurit maka kau akan membuat sepasukan prajurit arogan. Begitu komandannya dulu pernah berkata.

“Siapa anda dan mau ke mana?” tanya prajurit itu lagi.

“Prajurit,” ujar Ying Go, “Saya hendak menemui Kolonel Tan Liem Seng dari batalyon kavaleri Turangga Ceta[1].

Contra Mundi III - Master MahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang