"Ada apa dengan mata pandamu? Kurang tidur atau habis menangis?" sapa temanku di acara kumpul-kumpul kami hari itu.
Sebuah senyum tipis dan gelengan kepalaku menjadi balasan untuknya.
"Apa itu karena si.." sahut temanku yang lain yang duduk di depanku.
"Jangsn sebut namanya.. kumohon" potongku cepat karena jantungku masih belum sembuh dari shock terapi yang aku lakukan di hari sebelumnya.
"Kalian memutuskan berpisah?" tanya teman terbaikku pada akhirnya.
"Tidak. Sejak awal tidak ada komitmen masa depan diantara kami, selain hanya saling memahami" jawabku lirih.
"Ya Tuhan. Apa dia tahu kamu mengambil keputusan menjauh darinya? Kamu sudah mengatakan hal yang seharusnya kamu katakan?" serbu temanku yg paling muda.
'Tidak ada yang harus aku sampaikan padanya. Aku tidak pernah bersembunyi darinya. Dan tidak perlu salam perpisahan yang hanya membuatnya mampu membaca dan memandangku dengan tatapan berbeda", aku membalas dengan cepat ucapannya.
"Terserah. Semoga kamu tidak menyesal jika kemudian ternyata dia memiliki perasaan yang sama" timpal temanku ketus namun tatapan iba ia berikan.
"Itu tidak akan terjadi. Aku cukup mengenalnya. Tidak ada aku dalam rancangan masa depannya. Dia terlalu sibuk dengan kenangannya dan lingkungannya. Keberadaanku hanya selingan tawa jika ia merasa bosan dengsn hidupnya" kataku melempar senyum paling mengenaskan yang pernah dilihat oleh mereka.
Satu persatu mereka mengulurkan tangan dan memelukku erat.
"Selama ada kalian, aku akan baik-baik saja" ucapku pelan dengan suara bergetar.
"Itulah gunanya sahabat" jawab mereka kompak sambil melempar senyum yang menguatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau Dan Dia
Nouvelles"Dan kau membuang waktu 2 tahun untuknya?", sindir teman bicaraku. "Ya. Kau pikir berapa tahun yang pernah aku buang sebelum bertemu dengannya? 4 tahun waktuku terbuang percuma, 2 tahun belum seberapa!", sindiranku membuatnya terdiam. "Aku menertawa...