It Isn't Logic But It Happens

26 2 0
                                    

"Maaf mengganggumu padahal kamu baru pulang kerja.", aku menutup sesi curahan hatiku kepadanya setelah lebih dari lima belas menit kami berbincang.

"Ngga apa-apa. Aku udah sampai rumah dari tadi, bahkan kamu baru menelepon setelah aku bersiap naik ke tempat tidur.", balasannya membuatku tidak enak hati menghambat waktu istirahat sahabatku.

"Makasih udah luangin waktu untuk dengerin celotehan aku. Kamu istirahat aja, tadi kamu udah mau tidur kan?", enggan rasanya menutup sambungan telepon kami tapi aku tahu dia ingin beristirahat. Alih-alih menyampaikan kalimat perpisahan, sahabatku itu tertawa kecil sebagai responnya.

"Aku emang bilang bersiap naik ke tempat tidur, tapi bukan untuk tidur. Kamu itu kebiasaan banget memutuskan sesuatu tanpa bertanya keinginanku!", gerutuan yang keluar dari bibirnya membuatku mengenduskan nafas kesal. Ada jeda beberapa tarikan nafas sebelum dia kembali bersuara.

"Aku pernah bilang ke kamu untuk membatasi tulisan yang akan kamu share ke media sosial kan? Kamu juga udah dengar alasan aku membatasi gerakmu itu. Hal seperti ini pasti akan terjadi cepat atau lambat dan mau tidak mau harus kamu hadapi." sahabatku memulai diskusi kami dengan kalimat menggantung untuk pendapat selanjutnya yang akan ia sampaikan. Sebuah dehaman kuberikan padanya sebagai tanda menyetujui pendapat itu.

"Allah menciptakan kita dengan dua mata, dua telinga, satu mulut, satu otak dan satu hati bukan tanpa alasan dibaliknya. DIA meminta kita untuk mencerna dan merasakan lebih baik setelah banyak-banyak mendengar dan melihat lingkungan sekitar sebelum kita bertindak. Aku tidak akan menyalahkan dirimu atau sahabatmu untuk permasalahan ini. Hal ini terjadi karena masing-masing kalian terlalu fokus dengan diri sendiri dan kurang memaksimalkan telinga, mata, otak dan hati untuk lingkungan sekitar.", lanjut pria di seberang sana dengan nada suara yang menyejukkan telinga. Aku menganggukkan kepala menyetujui kalimat yang dilontarkannya.

"Di hari itu kamu terlalu terbawa emosi sehingga menulis kalimat-kalimat itu tanpa sempat berpikir panjang bahwa ada seseorang yang akan menyalahartikan tulisanmu dan menyebabkannya sakit hati. Sedangkan sahabatmu saat membaca tulisan itu terlalu terfokus terhadap pengakuan keberadaan dan eksistensinya dalam hidupmu sehingga tidak menyadari bahwa ada luka yang sedang kamu biarkan terlihat disana. Kalian egois, itu pasti. Dan itu tanda kalian masih manusiawi. Kamu yang sengaja membiarkan lukamu terlihat dan berniat melukai seseorang kemudian mendapati bahwa ada orang lain yang terluka atas tindakanmu, pasti akan menimbulkan sakit di hatimu meski itu tidak sesuai dengan keinginanmu.", tambahnya yang aku yakini pemaparan kali ini juga akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Lagi-lagi aku berdeham mengamini kalimatnya.

"Hal yang sama akan terjadi jika suatu hari nanti aku menulis 'Aku benci kamu, Ri!' dan kamu yang membaca itu langsung memproses kalimat itu apa adanya. Berikutnya sangat mungkin kamu akan bereaksi sama seperti sahabatmu yang tidak menemukan namanya dalam lingkup persahabatan yang kamu akui di tulisanmu.", dia menggunakan kalimat sederhana, sebuah perbandingan yang bertolak belakang namun meninggalkan efek yang sama di hati. Cepat-cepat aku membalas kalimatnya yang kali ini tidak sepaham dengan diriku.

"I wouldn't do that! Jika kamu sampai menulis kamu membenciku, pasti ada suatu kesalahpahaman antara aku dan kamu. Yang akan aku lakukan pertama kali tentunya menanyakan alasan kenapa kamu sampai menulis itu untuk mengetahui letak kesalahanku. Kamu ngga akan mungkin menulis itu kalau tidak ada sesuatu yang salah diantara kita.", alasan itu dengan cepat aku kemukakan kepadanya. Suara kekehan kecil aku dengar dari arahnya.

"Maafkan aku dan sahabatku yang terlalu sering merecoki hidupmu sampai cara kamu berpikir dan merasa pun kini seperti laki-laki. Ya, apa yang kamu katakan itu benar. Aku sangat mengenalmu sehingga aku tau kamu pasti akan bertindak seperti itu. Tapi bukan berarti setiap orang akan bereaksi sama sepertimu. Tidak semua orang bersedia memposisikan dirinya sebagai Sasak tinju tempat orang lain menyalurkan amarahnya. Kamu bisa bersikap seperti itu karena kamu terbiasa menerima keluhan dan kalimat-kalimat orang lain yang menyebutkan kekuranganmu dan menjadikannya kesalahanmu. Namun tidak semua orang bisa bersikap sepertimu. Dan kamu harus bisa memahami serta mengerti reaksi orang lain yang mungkin berbeda denganmu.", setiap suara yang kudengar, tidak sedikitpun terselip nada menyalahkan darinya. Hatiku menghangat mendengar suaranya yang menunjukkan rasa pengertian dan sayangnya untukku.

Aku, Kau Dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang