Di Saat Sahabatku Memberi Pil Terpahit Yang Harus Aku Minum

8 0 0
                                    

Beban di hatiku berkurang lebih dari setengahnya.
Benar kata mereka, sahabatku yang satu ini memang obat pahit yang paling mujarab.
Aku langsung menoleh ke arahnya begitu alunan lagu yang begitu familiar terdengar.

"Playlistmu berubah? Sejak kapan kamu suka lagu ini? Dan bisakah kalau kamu ganti lagunya?", ucapku dalam satu tarikan nafas.

"Ini playlistnya nyonya besar. Dia kira aku suka lagu ini karena dulu aku selalu membahas lagu ini dengannya. Padahal aku tahu lagu ini karena ada orang yang selalu hujan airmata setiap lagu ini diputar.", balasnya dengan tawa lebar. Aku pun secara spontan memberengut kesal.

Dan tiba-tiba kini mengalun lagu yang berbeda. Seseorang yang duduk disampingnya dengan cepat mengganti lagu tersebut sesuai permintaanku sebelumnya.

"Tidak ada yang salah jika seleranya berubah. Bukankah itu lebih baik? Nyonya besar?Ayolah, dia itu istrimu dan calon ibu dari anakmu, kawan!", tegur penumpang yang duduk disamping kemudi, pria lain yang juga masuk dalam kotak obat pahit milikku.

"Yah, perubahan yang mau tidak mau harus aku lalui begitu keputusan sekali seumur hidup itu aku keluarkan. Dan dia pantas untuk menerima itu, walau aku sempat merasa ada yang lebih wajib dari dirinya yang menikmati perubahanku.", balas si pengemudi dengan santai.

"Jangan dibahas lagi. Kita sepakat untuk menutup semuanya.", tegur pria disebelahnya.

"Baiklah, kita tidak bahas perubahanku. Bagaimana dengan perubahan si bodoh itu?Aku berani bertaruh dia berubah menjadi lebih baik setelah mengenalmu. Tapi dia tidak membiarkan dirimu yang merasakan perubahannya itu! Aku ingin membenturkan kepala bocah itu agar otaknya berjalan normal!", omel sahabatku dengan emosi tiba-tiba naik ke permukaan.

"Mungkin bukan aku alasannya berubah. Atau dia merasa aku tidak pantas untuk dirinya yang telah berubah. Dan hei! Dia cukup tua untuk kamu panggil bocah!", balasku memukul kencang lengan atas sahabatku.

"Dia cukup tua, benar! Tapi aku lebih tua darinya! Dan tidak ada panggilan untuk orang dengan jenis kelamin apapun yang belum dewasa dengan sebutan selain bocah! Ayolah! Bahkan dia yang sudah berubah entah seberapa banyak, di mataku dia tetap tidak pantas untuk bersamamu!", ujarnya dengan nada geram sangat terlihat.

"Lalu siapa yang pantas di mata kakak?", cetuk si malaikat kecil pendengar setia dan pengikut yang patuh pada orang yang ia panggil kakak.

"Orang di sampingku, kakak kesayanganmu. Hanya dia.", jawab sahabatku sangat yakin.

Aku menghela nafas panjang.  Sahabatku sekali lagi mengupayakan niatnya yang timbul di tahun lalu.

"Berhentilah memaksa kami untuk mengikuti kemauanmu!", protesku keras.

"Dia selama ini hanya mengalah kepadaku. Aku berani jamin, dia tidak lebih buruk dariku dalam hal menjagamu!", argumennya yang terus diulang.

"Aku bukan anak kecil yang perlu kalian jaga!", sekali lagi aku mendebatnya.

"Yes you are! Kamu tahu dengan baik siapa dirimu dan apa kelemahanmu sahabatku tercinta!", tukasnya tajam. Aku kembali menghela nafas panjang.

"Kita lihat nanti saja, jangan dibahas sekarang. Dia masih belum membersihkan awan kelabunya. Kita lanjutkan setelah dia pulih. Dan kamu tahu kami tidak akan pernah meninggalkanmu dalam hitam terlalu lama.", potong sahabatku yang jadi objek lain pembicaraan ini.

"Count me out! Aku harus lebih fokus pada kelahiran anakku. Dan kembaran nona besar yang belum lahir itu sudah menunjukkan kekuasaannya terhadapku.", responnya cepat dari balik kemudi.

"Kembaran nona besar? Maksudmu aku?", tanyaku ragu. Sahabatku memberikan anggukan kepala yakin padaku.

"Si kecil itu suka semua hal yang disukai olehmu. Aku bersyukur karena dia menunjukkan kemiripannya denganmu. Itu berarti aku tidak perlu bersusah payah mengenal dan belajar mengendalikannya. Aku hanya perlu memastikan gadis kecilku nanti tidak terluka dan bertindak bodoh sepertimu. Dan hanya pria seperti ayahnya yang nanti akan aku biarkan mendekat dengannya, karena itu jaminan bahagia bagi masa depannya.", jelasnya dengan wajah begitu cerah. Dengusan kasarku tentu dapat dia dengar dengan baik.

"Baik, dia tahu aku akan selalu ada jika dia membutuhkanku. Dan jika memang si bodoh itu tidak juga menjadi pintar, sebaiknya memang kamu mulai mempertimbangkan keberadaanku. Setidaknya aku telah mengenalmu dengan baik begitupun dirimu. Dan jangan anggap ini pengorbanan, karena tidak ada sedikitpun pengorbanan yang aku lakukan dalam mengambil keputusan ini. Aku hanya perlu menunggumu mampu berdiri lagi. Dan itu tidak butuh waktu lama.", tutup sahabatku yang sudah aku ketahui setahun belakangan ini perubahannya yang nyata namun selalu aku sangkal sebisaku.

Aku mengalihkan wajahku melihat keluar jendela, memandangi air hujan yang jatuh begitu banyak, saat gadis kecil disampingku terus bersuara mendukung keputusan kedua kakak laki-lakinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku, Kau Dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang