-Harry's POV-"Bagaimana? Sudah menemukan rumahnya?"
Aku menoleh begitu mendengar suara Niall di sampingku. Menghela napas berat dan kembali menatap Ravhel yang sedang ikut bermain basket sebelum kelas olahraga dimulai. "Belum. Kukira aku akan langsung mengetahuinya dalam waktu dekat karena dia sering memperhatikanku." kataku muram sambil menyanggah daguku dengan melipat sebelah tangan di depan dada. "Tapi kenyataannya aku seperti sedang mencari jarum di dalam tumpukkan jerami. Dia bukan putri Fiona yang sering menyanggah dagunya di jendela untuk menunggu pangerannya."
Itu benar. Sudah seminggu aku mencoba mencari rumah Ravhel disetiap aku lari pagi ataupun di sore hari, dan sudah seminggu juga aku belum menemukan rumahnya. Membuatku ingin sekali memukul wajah seseorang untuk melampiaskan rasa frustasiku.
Aku lelaki yang tidak sabaran sehingga pada hari kelima masih saja belum menemukan rumah Ravhel, aku mulai kalap.
Perlu diketahui saja, ketika aku kalap, semua yang orang lain lakukan, selalu salah di mataku sehingga seharian penuh aku tidak ada hentinya mengumpat kasar pada siapapun orang yang berinteraksi denganku.
Bahkan aku sampai terkena hukuman dari guru kimia karena sudah sengaja menumpahkan cairan yang kubuat pada mejanya dan keluar di tengah pelajaran. Tapi aku tidak menyesalinya karena dia sangat menggangguku dengan terus berkomentar bahwa cairan yang kumasukkan salah.
Tidak ada bedanya dengan kembar Gonzalez dan Niall. Mereka juga kena semprotanku. Mereka paling terparah dari yang paling parah. Kami sampai berkelahi karena aku membuka aib ketiganya yang membuat mereka tersinggung.
Namun semua itu tidak berlangsung lama setelah Niall berhasil membuatku sulit untuk bangun karena sudah menendang daerah vitalku.
Dia memang bajingan, aku tahu.
Tapi perbuatannya benar-benar membuatku sedikit merasa tenang. Sehingga aku bisa menceritakan kenapa aku berubah menjadi banteng sungguhan.
Mereka memang memberi saran atau menawarkan pertolongan-yang tentu saja kutolak mentah-mentah, tapi ketiganya juga sangat puas menggoda dan mengejekku terus menerus. Membuatku ingin sekali mematahkan ketiga hidung mereka.
Kudengar Niall terkekeh pelan. "Kenapa kau menolak bantuan kembar Gonzalez? Kau tahu mereka seperti agen mata-mata yang sangat handal dalam mencari informasi." Niall menggeleng dengan senyum miringnya. "Apalagi tentang Ravhel, aku yakin kau akan langsung mengetahui alamat rumah beserta nomor teleponnya dalam beberapa jam saja. Dia sangat populer sehingga sangat mudah untuk mereka mendapatkan informasi."
Aku mengernyit. "Aku tahu itu, tapi aku ingin melakukannya dengan kemampuanku sendiri. Tak peduli sampai kapan aku bisa berhasil." kataku yakin.
Kurasakan Niall menatapku dengan sebelah alis terangkat dari samping. "Kali ini kau benar-benar serius soal mendekati seorang gadis?"
"Kali ini?" aku menatap Niall dengan alis menyatu. "Kau tahu Ravhel adalah gadis pertama yang kudekati."
"Mmh, yap aku hampir lupa mengenai itu." Niall memutar bola matanya. "Tapi apa kau benar-benar serius? Atau kau hanya ingin bermain-main dengannya?"
Aku memutar kepalaku dan kembali menatap Ravhel. Melihat wajah latinnya yang sedang tertawa. Pemandangan yang tak akan pernah lelah kupandang. Wajahnya yang ceria membuat gadis itu semakin menawan. "Jika aku tidak serius, mungkin aku tidak akan pernah memendam perasaanku padanya selama setahun."
Jika aku mengatakannya secara langsung, aku terdengar seperti pengecut.
Aku sekarang tidak tahu mana yang membuatku merasa jijik. Aku yang merasakan gejala-gejala jika aku tertarik padanya, atau aku yang memendam perasaanku dengan diam-diam memperhatikannya dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kismet | H.S.
FanfictionSiapa sangka jika seorang Harry Edward Styles, preman sekolah yang banyak ditakuti karena ke bringasannya, diam-diam menyukai gadis periang dan popular seperti Ravhel Allecra Moyes? Well, Semuanya bermula di saat Harry mengumpat kasar pada Ravhel.