1. Hati Yang Buta

527 30 2
                                    

-Author's POV-

Cahaya oranye muda menyilaukan mata yeoja yang masih terpejam. Gerak spontan tangan kurusnya menarik tirai jendela, agar cahaya silau dapat terhalang oleh tebalnya tirai yang bermotif bunga teratai itu.

Beberapa kali dia mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengumpulkan ruh yang masih berterbangan dari sisa mimpinya semalam.

"Siapa namja itu?" Mina langsung duduk ditempat tidur, bertanya entah pada siapa tentang seorang namja yang tadi singgah dimimpinya.

"Namanya tadi--- Nike? Hah, kenapa namanya seperti merk sepatuku? Benar-benar mimpi yang konyol," Mina tertawa geli.

Bunyi gemericik shower terdengar dikamar mandi. Mengalun lembut menciptakan harmoni dengan suara Mina yang bernyanyi lagu-lagu kesukaannya. Mina sering bernyanyi tanpa lirik, hanya nada yang naik turun tapi bermelodi indah.

-Mina's POV-

"Mina~ cepat turun. Segera ke sekolah, ini sudah siang," teriak eomma dari tangga lantai bawah.

"Ya, eomma," jawabku singkat.

Selesai ganti seragam segera kurapikan buku-bukuku kedalam tas. Setelah memastikan semua sudah siap aku segera turun kebawah. Diruang makan sudah menunggu, eomma, Dahyun, dan Choco, kucing kesayanganku.

"Ayo. Dahyun-ah, kita berangkat," dua tumpuk roti tawar tanpa selai dan seteguk susu vanila kusambar.

"Unni, duduklah. Aku tunggu kamu sarapan," kata Dahyun.

Dahyun adalah adikku, lebih tepatnya adik tiriku. Umurku dan dia hanya selisih 3 tahun. Dia adalah anak dari eomma dengan suaminya yang baru, Hongki ahjussi.

Saat aku masih 2 tahun, appa meninggal karena kecelakaan. Hal itu membuat eomma depresi dan Hongki ahjussilah yang menyelamatkannya. Pertanyaan yang selalu ada diotakku adalah apakah dengan menikahi eomma adalah cara Hongki ahjussi menyelamatkannya.

Bibirku kini kaku jika memanggilnya dengan panggilan 'appa' setelah terjadi pertengkaran hebat diantara eomma dengannya, hingga sebuah cerita memilukan disampaikan kepadaku bahwa Lee Hongki sebenarnya bukanlah ayah kandungku.

Hatiku hancur karena selama ini eomma menyembunyikan fakta itu dariku. Maka sudah menjadi kesepakatan bahwa mulai saat itu juga aku tidak lagi memanggilnya 'appa' tapi 'Hongki ahjussi'. Bukan tanpa alasan, aku juga menemukan fakta bahwa Hongki ahjussi adalah selingkungan eomma dimasa lalu. Fakta itu membuatku makin menggila.

Mungkin inilah yang membuat Hongki ahjussi marah dan memutuskan mengambil pekerjaan diluar kota untuk beberapa bulan, meninggalkan istri dan anaknya di Seoul.

Meskipun begitu eomma tetaplah eomma yang selalu memahamiku. Mengerti 'keadaanku'. Sejenak melepaskan suaminya, meredam pertengkaran yang terjadi agar tidak terucap keputusan bodoh yang akan menghancurkan hidupnya dan anak-anaknya.

"Mina, jangan melamun. Dahyun akan menunggumu sarapan, cepat kamu habiskan sarapanmu," suara eomma menyadarkan lamunanku.

"Ah, gwaencanha. Aku masih kenyang. Eomma, aku berangkat," pamitku lalu mencium pipi eomma, kemudian Dahyun mengikutinya setelahku.
Didalam bus Dahyun hanya diam memandangiku. Sesekali kutanya mengapa tetapi dia hanya menggelengkan kepalanya.

Sejak pertengkaran itu aku dan Dahyun semakin berjauhan. Padahal dulu aku dan Dahyun adalah kakak-adik yang tidak terpisahkan. Hubungan kami sangat erat, seakan jika kulit Dahyun tergores pun aku ikut merasakan perihnya. Kami menyayangi satu sama lain.

"Unni. Ayo turun," Dahyun menepuk tanganku saat bus sudah berhenti di depan sekolahan kami yang masih 1 kompleks. Dahyun masih duduk di kelas 2 SMA dan aku sudah duduk di bangku kuliah semester 3.

Dari seluruh penumpang bus hanya tinggal aku dan Dahyun saja yang masih duduk. Menyadari itu dengan malas aku mematikan mp3-ku yang sedang memutar lagu Annyeong Bada-Fading Starlight, melepas earphoneku dan segera turun dari bus meninggalkan Dahyun yang masih duduk didekat jendela.

"Kau akan terlambat dihari pertamamu, ayo," ajakku singkat.

Aku berjalan mencari ruang kuliahku. Bukan melihat tabel jadwal tetapi melihat teman sekelasku yang mungkin nongkrong didepan ruangan tersebut. Secara tidak langsung aku tahu bahwa itulah ruang kuliahku.

Berhasil menemukan ruangannya aku segera mengambil kursi paling belakang. Menundukkan kepalaku dimeja yang barangkali aku akan tertidur lagi dan bermimpi tentang namja aneh bernama Nike.

"Annyeong~ Mina-ssi. Wah, liburan panjang kemarin kamu kemana saja? Pasti kamu liburan mesra berdua dengan Minghao, iya kan?" terdengar goda dari Seungcheol.

Namja gila itu, Seungcheol. Selalu menggodaku, menjodohkanku dengan Minghao. Padahal berulang kali aku menjelaskan bahwa Minghao bukan namja yang kusukai. Tapi Seungcheol tetap menggangguku. Seolah itu adalah hiburan untuknya.

"Jika kamu berkata hal bodoh itu lagi, jangan harap aku akan menganggapmu ada!" aku menggebrak meja, meninggalkan Seungcheol dan beberapa teman dikelasku dengan tatapan heran mereka.

"Aku tidak berani jika Mina sudah seperti itu, kenapa kamu masih saja nekat?" komentar Joshua.

"Ini kan hari pertama masuk. Hei Seungcheol, kamu benar-benar hebat," sindir Mingyu yang kemudian keluar ruang mengikutiku.

"Aku bahkan harus absen dihari pertama. Kamu benar-benar setan kecil Choi Seungcheol. Kamu menghancurkan moodku!" kulempar batu seukuran bola tenis kekolam bersamaan dengan teriakan cacianku.

Air kolam menyembur kesegala arah akibat ulahku. Membasahi rok, sepatuku dan celana seseorang yang tiba-tiba berdiri disampingku.

"Jangan salahkan aku jika celana kusutmu itu basah kuyup. Pergilah!" aku melampiaskan kemarahanku pada orang itu, tidak peduli siapa.

"Hahaha. Kamu salah Mina. Pertama, celanaku tidak mungkin basah kuyup hanya karena lemparan batumu itu. Kedua, celanaku tidak kusut. Ini hanya motif abstrak 3 dimensi," ucap Mingyu panjang lebar.

"Dan ketiga, aku tidak salah jika memintamu pergi," kataku lalu segera bangun dari dudukku, berniat pergi kesuatu tempat lain lagi yang tenang karena Mingyu kini mendekatiku.

"Mina. Aku siap mendengarmu, apapun itu. Kamu nampaknya sedang mengalami hal sulit," kata Mingyu berusaha mencegahku untuk pergi.

Aku berjalan cepat beberapa langkah namun kemudian berhenti sambil meremas genggaman tanganku yang merasa tertahan akibat perkataan Mingyu.

"Tidak perlu. Hatiku sedang buta. Aku bahkan tidak mengenalmu," ucapku lirih, tapi aku yakin Mingyu dapat mendengarnya.

"Oke. Baiklah. Aku akan menunggu, sampai hatimu tidak buta lagi," balas Mingyu.

Aku segera melangkah pergi dari Mingyu, menyekap mulutku sendiri untuk menahan tangis yang menyebalkan ini.

-To be continued-

ImagineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang