8. Aku Adalah Orang Lain

172 17 0
                                    

Hawa dingin mulai menyelimuti lorong kampus tempat Mina berdiri, seakan beku hingga memantungkan tubuh Mina. Sosok itu bergerak semakin mendekat, kakinya mengambang bagai layang-layang yang tertiup angin.

''Tolong aku.'' Kata Mina dalam hati. Pikirannya kacau, apa yang dialaminya antara mimpi dan kenyataan menggelitik di dalam kepalanya.

Kesadaran Mina mulai berkurang, dia kemudian jatuh pingsan. Namun sepasang tangan menangkapnya, tangan yang begitu hangat untuk melindungi Mina. Pemilik tangan itu menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah gadis yang dia dekap. ''Apa kau sakit?'' kata orang itu.

-Mina's POV-

Sebuah kamar bercat putih bersih, jendela dengan tirai warna biru laut, aroma obat-obatan dan dua orang asing dengan wajah samar-samar. Itulah hal yang kulihat. Kepalaku sedikit pusing, spontan saja aku berusaha duduk dari ranjangku.

''Unni, kamu sudah sadar?'' tanya Dahyun. Kupastikan dia memang benar Dahyun, adik tiriku.

Kulihat seorang yang lain, dengan susah payah memokuskan pandanganku padanya. Kemudian pikiranku kembali terlempar entah kemana.

''Mina, jangan membenciku... Dia mengancam akan merusak saham appaku... Matamu indah...'' aku teringat lagi saat aku bersama dengan Seungcheol. Tawanya yang khas, deretan gigi-giginya saat tersenyum memandangku. Aku begitu bahagia kala itu, tapi bayangan sosok menakutkan itu kembali lagi. Pikiranku tersapu ke masa kecilku, entah mengapa kenangan ini kembali datang.

''Dengarkan aku! Mina, pura-puralah menjadi anak bibi. Mulai sekarang panggil dia eomma, mengerti?''

"Eomma, kepala appa keluar darah. Eomma mengapa memukul appa?''

Lamunanku berakhir, aku mengerjap-ngerjapkan mataku berkali-kali. Berusaha merasakan jika aku belum mati rasa, karena kepalaku yang menjadi sangat pusing ini.

"Aku bukan unni mu,'' kataku pada Dahyun tiba-tiba.

''Ha? Unni ini aku. Oppa, apa dia tadi terbentur sesuatu?'' tanya Dahyun pada Seungcheol.

Dokter masuk kedalam ruangan, di belakangnya ada seorang perawat yang mendorong meja kecil entah apa saja yang ada di atasnya.

''Maaf, pasien harus diperiksa dahulu,'' kata perawat itu dengan ramah. Dahyun dan Seungcheol segera keluar dari ruangan.

***

Seorang laki-laki berjalan setengah berlari, menghampiri Seungcheol. Nafasnya sedikit tersengal-sengal. ''Apa Mina baik-baik saja?'' kata laki-laki itu.

''Kurasa, ya,'' jawab Seungcheol. Kerah bajunya ditarik kasar oleh laki-laki itu, dia adalah Mingyu. ''Kenapa kamu harus ada saat situasi seperti ini?!'' bentak Mingyu, ''Apa lagi yang kamu lakukan terhadapnya?'' kata Mingyu tapi dengan nada yang lebih pelan, agar tak terdengar oleh Dahyun.

Seungcheol menampik tangan Mingyu, dia kemudian masuk kembali ke ruangan tempat Mina di rawat.

''Dokter bilang aku sudah baik-baik saja,'' kataku berbohong, lalu Seungcheol refleks memapahku untuk turun dari tepat tidur. ''Aku bisa pulang sendiri.''

''Mina,'' aku melihat Mingyu datang. Tiba-tiba saja air mataku ingin meledak, aku begitu ingin memeluk Mingyu. Mengatakan kepadanya bahwa hanya dia yang bisa membendung kesedihanku. Aku menangis, seperti anak kecil.

''Eomma.. aku takut. Appa. Eomma, aku ingin pulang.'' kataku berulang kali di sela-sela tangisku. Dahyun kemudian memelukku dengan erat.

Aku melihat Seungcheol hanya diam saja, membuatku membencinya. Aku ingat benar Seungcheol sudah menjebakku, itu membuatku semakin sakit. Aku menarik paksa infus yang masih melekat di tangan kiriku, darah mulai mengalir dari bekas infus itu. Dahyun menenangkanku selayaknya akulah adik kecilnya, aku merasa muak. Aku terus meronta dan meminta ingin pulang.

***

''Hasil pemeriksaan menunjukkan pasien sedang dalam kondisi sangat tertekan, ini cukup buruk. Saya sarankan dia mendapat penangan lebih lanjut di bagian kejiwaan,'' kata dokter, ''Apa orang tua atau keluarga pasien bisa dihubungi?''

''Saya adik tiri nya, dok. Sebenarnya Mina unni adalah yatim piatu, tapi dia memiliki saya.'' Kata Dahyun, membuat Mingyu yang berdiri di belakangnya tersentak setelah mengetahui hal itu.

Langkah Dahyun terhenti saat melihat eommanya di ujung lorong rumah sakit. Dia melihat raut wajah eommanya yang begitu lelah. ''Kakakmu dimana, sayang?'' katanya. Dahyun tidak menjawab dan hanya memeluk eommanya.

''Eomma, Dahyun sayang Mina unni. Apa tidak boleh kami bahagia seperti adik-kakak yang lainnya. Dahyun tidak bisa melihat unni sakit terus, eomma.'' rengek Dahyun.

''Dengarkan eomma, kakakmu akan baik-baik saja sayang,'' eomma mengusap air mata Dahyun lalu balas memeluknya.

***

Aku berusaha merangkai kembali imajinasiku. Aku adalah anak eomma Lee, aku memiliki adik dia adalah Dahyun. Appaku adalah Hong Ki. Aku anak yang waras, sangat waras dan yang penting aku bahagia.

Seseorang mengambil kursi dan mendekatkannya disamping ranjangku yang begitu empuk dan nyaman.

''Mina, kau nakal lagi ya. Kenapa tanganmu diikat?'' kata lelaki itu. Aku menoleh ke pergelangan tanganku, dan yang benar saja mereka memang terikat. Aku hanya tersenyum masam.

''Dengarkan appa, nak. Eommamu bukan Nyonya Lee, tapi bibi. Dia Eommamu yang sebenarnya, kamu tidak mengingatnya ya? Hahaha.'' orang itu tertawanya, tapi tawa yang bersahabat. Aku melihat wajahnya terlihat mirip denganku.

''Appa, Mina sangat merindukanmu,'' kataku dengan berlinang air mata. Seperti orang bodoh yang kemudian mengikuti lelaki itu tertawa juga, hingga tidak bisa dibedakan lagi air mata ini karena kesedihan atau kebahagiaan. Aku terus tertawa bersama dengan orang yang mengaku sebagai appaku yang sebenarnya ini, aku percaya dia adalah appaku.

''Dia berbicara sendiri,'' kata Mingyu lirih. Seungcheol menepuk beberapa kali pundak Mingyu dengan pelan, lalu segera pergi menjauh.

***

Hampir 3 bulan aku tinggal di rumah sakit, entah berapa banyak orang yang sudah menjengukku. Aku bahkan menganggap Mingyu dan Seungcheol adalah orang yang sama, lucu bukan. Aku tahu aku dirawat di tempat orang yang mengalami gangguan kejiwaan, aku tahu itu. Dahyun masih tetap menjadi adikku, setiap hari dia yang memijat tanganku.

Sore ini aku meminta eomma, atau yang kini kupanggil dengan bibi Lee, untuk mengajakku berjalan-jalan di taman rumah sakit.

"Dimana appa?'' tanyaku padanya. Bibi Lee tidak menjawab.

''Dia sudah tiada ya?'' tanyaku lagi.

''Eomma, apa eommaku masih memintaku untuk berbohong padamu, bi?'' kini pertanyaanku lebih mendetail.

''Apa dia--,'' pertanyaanku selanjutnya kemudian terputus karena bibi Lee membungkukkan dirinya di depan kursi rodaku. Tangannya yang lembut menggenggam tanganku, aku melihat matanya begitu teduh. Seperti mata seorang ibu yang selama ini kukenal.

''Mina, kamu tidak perlu menanyakan hal itu berulang kali, setiap hari, setiap saat. Kamu hanya perlu pelukan dari bibi. Kamu menyukainya kan?'' kata bibi Lee.

Aku mengangguk seperti anak kecil dan tersenyum lebar. Kusambut pelukan dari bibi Lee. Aroma tubuhnya masih kuhafal, aku menghirupnya kuat-kuat seakan itu adalah obat yang bisa menenangkanku.

Jadi, inilah aku. Aku yang selama ini hidup sebagai orang lain. Kenyataan bahwa bibi Lee adalah eomma tiriku, karena eomma kandungku gila, jadi sejak kecil aku dititipkan padanya. Aku beruntung bibi Lee mau menerimaku, walaupun suaminya sangat tidak menyukaiku, dia takut penyakit gila eomma yang kini kualami juga akan menulari keluarganya. Lalu bagaimana dengan appa? Sebenarnya dia meninggal di tangan eommaku, tahukah bagaimana traumaku karena itu? Seperti inilah, aku hidup dengan kehidupan yang aku inginkan.

-The End-

ImagineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang