3. Atap Sekolah

2.6K 224 5
                                    

"Dul gue soto ayam gak usah pake ayam." Kata Doni menepuk pundak Mas Abdul si pemilik kantin.

Jeri dan kawan-kawan yang telah sampai di kantin segera memesan makanan mereka. Tapi Jeri langsung berjalan menuju bangku panjang bagian pojok kantin. Diantara rombongan Jeri tidak terlihat Sean yang biasanya paling awal sampai di kantin dan memesan soto babat Mas Abdul.

"Saya juga Mas Dul pesen indomie goreng kasih kuah ya." Sambung Johan sambil mencomot bawang goreng di dalam toples.

"Masyallah tobat saya sama anak-anak ini." Mas Abdul hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan pelanggannya. "Mas Jeri mau makan apa?" Tanyanya yang melihat Jeri yang hanya duduk memperhatikan hp nya.

"Es teh manis aja mas."

"Oke deh mas. Oiya mas istri saya kan sekarang lagi hamil, saya do'a siang malem minta muka anak saya mirip Masa Jeri."

Doni dan Johan tertawa terpingkal-pingkal mendengar penuturan Mas Abdul yang berharap wajah anaknya mirip dengan Jeri yang notabennya adalah blasteran.

Setelah sepuluh menit istirahat berlalu, barulah Lana dan Laras sampai di kantin tetapi tidak ada satu pun bangku kosong disana.

"Laras sayang disini aja." Doni melambaikan tangannya melihat Laras yang kebingungan.

Laras yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh ke arah suara. "Idih males banget." Jawab Laras jutek.

"Udah gak papa Ras kesana aja yuk, dari pada gak makan."

Lana menggandeng tangan temannya itu dan menghampiri Doni. Setelah sampai di meja Doni, Laras mengambil tempat di sebelah Jeri dan menjaga jarak dengan Doni.

"Ih kamu mah milih duduk di sebelah yang cakep. Sini aja yang sebelah kakak, jangan jutek-jutek sama pacar sendiri." Doni mencolek dagu Laras.

"Pacar pale lu pitak!"

Jelas Laras marah dengan sikap Doni yang selalu menggodanya. Di awal masuk SMA Cendrawasih, Laras mengira Doni memang benar menyukainya. Namun dengan berjalannya waktu barulah Laras tahu kalau Doni sudah memiliki pacar. Dan sikap Doni selama ini hanya sebatas menggoda Laras saja.

"Eh Retha mana? Tumben gak ke kantin?" Johan yang penasaran karena Retha tidak ada langsung bertanya kepada Lana.

"Dia bilang sih mau ketemu Kak Jeri, tapi kok Kak Jeri disini?"

"Iya tadi gue juga liat Retha ke kelas gue sambil nangis, tapi ditinggal aja sama ini kunyuk atu. Gue kira dia udah balik ke kelasnya." Johan menunjuk ke arah Jeri takut-takut.

"Kayanya dia perlu waktu buat sendiri deh kak. Biasalah kalo cewek patah hati, obatnya cuma menyendiri." Lana berbicara sambil melirik ke arah Jeri yang masih sibuk mengotak-atik handphonennya. "Eh kok gue gak liat Kak Sean ya?"

"Tadi Sean masih di depan kelas sama Retha, gak tau deh sekarang dimana."

Jeri beranjak dari tempat duduknya setelah mendengar ucapan Doni. Sepertinya ia menyadari sesuatu yang ganjil.

***

Disini lah mereka berdua sekarang, di atap sekolah. Retha dan Sean. Keduanya hanya saling berdiam diri tanpa sepatah kata keluar dari bibir mereka. Sean yang duduk di bangku menatap Retha yang berada di pagar atap sambil memejamkan mata.

"Lo gak makan dulu Reth?" Sean memecah keheningan di antara keduanya. Retha hanya menggeleng lemah kemudian berbalik dan duduk di samping Sean.

Ting!

Sean mengambil hp di dalam saku bajunya. Sedikit tidak percaya dengan pengirim sms, Sean memastikan kembali apa yang dibacanya dan pengirimnya adalah benar.

Lo dimana?

Jeri adalah pengirim sms itu. Selama ini sangat jarang Jeri menghubungi Sean secara langsung, karena biasanya mereka berkomunikasi hanya sebatas grup chat saja. Tidak ada hal pribadi yang perlu mereka bicarakan. Tapi sepertinya mulai saat ini hp nya akan dipenuhi chat personal dengan Jeri. Tanpa berpikir untuk membalas, Sean memasukkan kembali hp nya yang telah diubah menjadi silent mode.

"Lo ke bawah aja kak, gue masih mau disini." Begitulah jawaban Retha sekenanya.

"Kalo gue turun sekarang, kira-kira lo punya niatan buat lompat gak?" Retha tersenyum geli mendengar ucapan Sean. "Kalo lompat dari sini kali cuma patah tulang, gak akan mati. Mending di apartemen gue aja lumayan 30 lantai, langsung dah tu gak pake sekarat."

"Ha..ha apaan sih lo kak." Kembali keduanya terdiam, seperti sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. "Kalo dipikir-pikir aneh ya kita duduk berdua disini. Selama ini kan kita gak terlalu deket." Lanjut Retha dengan mata yang menerawang ke depan.

"Gimana gue mau deket sama lo, kalo lo kerjaannya nempel sama Jeri terus."

Senyum di bibir Retha pun perlahan-lahan menghilang setelah mendengar nama Jeri. Seakan penuh penyesalan, Sean merutuki diri sendiri melihat mata Retha yang berkaca-kaca.

"Emang salah ya kak kalo gue suka sama Jeri?" Nah! Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibir Retha.

Sean yang terpaku beberapa saat menatap wajah Retha yang sudah memerah dan air mata yang mengalir di kedua pipinya.

"Emang gue bilang kalo lo gak boleh suka sama Jeri? Enggak kan. Tapi kalo selama ini yang gue liat, lo mati-matian ngejer Jeri yang sama sekali gak ngasih kepastian sama hubungan kalian." Sean yang seolah tahu duduk permasalahnnya mencoba menasehati Retha atau ada maksud lain?

"Gue tau kalian udah deket dari kecil, tapi apa lo gak pernah berpikir kalo Jeri sebenernya kepingin punya temen cewek selain lo. Selama ini cuma lo satu-satunya cewek yang ada di sekitar dia, tapi disaat dia ketemu sama cewek lain dan ngerasa tertarik menurut gue itu wajar sih Reth."

Pandangan Retha seolah kosong mendengar penuturan Sean. Selama ini Retha memang selalu membatasi ruang gerak Jeri. Kemana pun cowok itu pergi, Retha selalu mengikutinya seperti bayangan.

Tiba-tiba Retha tersadar, sudah berapa lama ia ada disini. Sepertinya bel masuk akan segera berbunyi. Retha pun merogoh saku bajunya untuk mengecek jam berapa sekarang. Dan bola mata Retha membulat sempurna melihat layar hp nya.

37 Panggilan Tidak Terjawab

JERI


REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang