13. Sisi Lain

2K 220 12
                                    

===DON'T FORGET TO VOMMENT===

***

Vino menghentikan motornya di depan parkiran sebuah cafe yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Cafe milik keluarganya. Matanya teralih melihat sebuah mobil sport hitam yang sudah sampai disana sebelum ia datang.

Memasuki pintu cafe, mata Vino mencari keberadaan seseorang yang beberapa menit lalu menerornya dengan pesan ancaman.

'Kalo lo gak dateng, semua rahasia lo bakal gue bongkar.'

Dan Vino menemukan orang itu, orang yang berpakaian serba hitam ala-ala detektif. Tanpa mengucapkan satu patah kata pun, Vino duduk di hadapan orang itu yang sedang menyesap kopi hitam.

"Lo masih ngelarang gue buat deketin Retha?" Ucap Vino, sangat khas laki-laki, tidak suka basa-basi.

Yang ditanya menggeleng sambil meletakkan kembali kopinya di atas meja.

"Enggak..." Jeri mengalihkan menatap mata lawan bicaranya. "...silahkan aja kalo lo mau deketin dia, lo mau apain dia juga terserah lo."

"Tapi?" pantau Vino.

"Tapi, satu yang perlu lo tau," Jeri berhenti sejenak untuk meyakinkan hatinya. "Dia cuma cinta sama gue."

"Gue tau," jawab Vino yakin. "Bahkan gue lebih tau hal itu dari pada lo sendiri, lo pikir siapa yang ada di sebelah dia waktu dia nangis kemaren? Gue Jer, gue yang dengan begonya mau jadi sandaran dia saat dia nangis karena cowok lain."

Jeri tertohok mendengar ucapan Vino. Dia yang hanya bisa membuat Retha menangis, tanpa tau bagaimana cara Retha berhenti menangis dan siapa yang menghentikan tangisannya.

"Ya, lo cuma jadi pelarian dia aja,"

"Gue gak peduli... Gue gak peduli, mau gue jadi pelarian dia, mau gue jadi samsak nya dia, gue gak peduli." jawab Vino dengan mata nyalang menatap Jeri.

Jeri tersenyum miring mendengar keyakinan hati Vino. Namun otak Jeri mencoba meyakinkan kalau apa yang ia dengar hanyalah suara semut yang sedang bernyanyi.

"Seyakin itu lo?" Jeri sebenarnya sudah malas melanjutkan percakapan ini, seperti takut kalah dengan kenyataan.

"Kalo gue gak yakin, gue gak akan kesini."

Vino meletakkan ponselnya di atas meja, tepat di depan Jeri. Di layar ponsel itu menampilkan sebuah pesan dari seseorang. Dan isi pesan itu hanya sebatas kata 'oke', tapi apa kalian tau apa kalimat yang ada di atas kata oke itu?

'Izinin saya jadi matahari kamu Reth.'

Hanya sepenggal kalimat itu yang ditangkap mata Jeri, dan kata oke yang mengiringinya di bagian bawah. Jeri tau maksud dari kalimat pernyataan serta jawaban itu. Dan Retha adalah pengirim pesan itu, pesan yang mengandung arti kesengsaraan bagi Jeri.

Beberapa saat yang lalu saat memasuki pintu cafe, Vino merasakan getaran dari saku bajunya. Ternyata ia mendapatkan pesan dari Retha, memang hanya sebatas kata oke, namun itu sudah lebih dari cukup untuk Vino memastikan kedudukannya.

Seketika pandangan Jeri menggelap, untuk bernapas pun sulit. Lagi-lagi takdir mempermainkannya. Atau justru ia yang mempermainkan takdir?

Dia pikir perempuan itu tidak akan kemana-mana.

Dia pikir perempuan itu akan tetap berada di singgasana hatinya tanpa harus diikat.

Dia pikir perempuan itu tidak akan memberi hatinya untuk orang lain.

Tapi dia tidak berpikir perempuan itu bisa pergi, bisa berjalan menjauhi singgasana, dan bisa memberi hatinya untuk orang lain.

Kini dia baru berpikir, betapa bodohnya menyia-nyiakan waktu yang telah ia lewatkan selama ini.

"Gue rasa gue udah dapet hasil yang setimpal karena ke-begoan gue."

Vino mengambil tasnya dan melangkah pergi menuju pintu keluar cafe. Namun sebelum keluar dari cafe, Vino berbalik menepuk pundak Jeri.

"Masa lalu itu tempatnya di belakang, lo itu terlalu sering jalan sambil nengok ke belakang. Ya ini konsekuensinya, lo kesandung dan jatoh."

Seluruh anggota gerak Jeri melemas, seolah tidak ada tulang penyangga di dalamnya. Apa yang diucapkan oleh Vino seperti rumus trigonometri, dimana semua bagiannya saling terhubung.

Dan Jeri tau yang dimaksud Vino adalah Irene, atau lebih tepatnya kematian Irene.

"Gak usah sok ngasih nasehat, lo bahkan lebih bangsat dari pada gue."

***

Jeri menghabiskan seharian waktunya di dalam kamar tanpa melakukan kegiatan apapun. Berulang kali terdengar ketukan di pintu kamarnya, namun dengan enggan ia menjawab ketukan itu dan membiarkan suara Mbok Nah menghilang begitu saja.

Sarah yang baru pulang dari butiknya merasa ada yang salah dengan sikap anaknya hari ini. Semenjak empat hari lalu, saat Jeri ke butiknya dengan wajah yang nyaris tidak terlihat seperti Jeri, Sarah selalu khawatir dengan apa yang dilakukan Jeri setiap hari.

"Jer," Sarah mengetuk pintu kamar Jeri.

Pada ketukan kedua, terdengar bunyi kunci yang dibuka dari dalam. Sarah berdiri di pinggiran pintu sambil bersedekap dada.

"Kamu kenapa lagi? Jangan kayak anak kecil deh Jer, dikit-dikit ngambek gak mau makan. Mama ini capek, pulang kerja Mbok Nah ngelapor kalo kamu tadi pagi pergi tapi bukan ke sekolah. Terus kamu gak turun-turun buat makan. Kenapa lagi?"

Jeri menghembuskan napas kasar mendengar omelan Sarah. Bukannya Jeri ingin merepotkan Sarah dengan sikapnya yang terbilang kekanakan, tapi Jeri benar-benar butuh waktu untuk menenangkan diri.

"Apa sih ma, udah ya Jeri capek mau tidur."

"Retha?" tanya Sarah cepat.

Jeri yang baru akan menutup pintu kamarnya langsung berhenti mendengar sarah mengucapkan nama Retha.

"Tadi mama liat Retha dianter pulang cowok," Sarah menatap Jeri yang terdiam. "Retha punya pacar?"

"Gak tau ah ma, tanya aja sama orangnya."

Jeri menutup pintu kamarnya, hanya ditutup tanpa dikunci. Saat ini memang ia sangat ingin sendiri, namun dari dalam hatinya ia membutuhkan pelukan dan nasehat dari Sarah.

Sarah melangkah memasuki kamar bernuansa biru gelap itu, terlihat anak laki-lakinya yang berbaring di atas kasur sambil memeluk guling.

Sarah duduk di pinggir tempat tidur tepat di sebelah Jeri. Tangannya terangkat mengusap sayang kepala Jeri.

"Dulu waktu kamu umur 4 tahun, kamu pernah jatuh dari sepeda dan sampe sekarang masih ada bekasnya." Tangan sarah beralih mengusap bekas luka yang ada di lengan Jeri. "Mama sempet heran kenapa kamu gak nangis, padahal lukanya cukup besar. Dan lucunya, justru Retha yang nangis kejer pas ngeliat kamu diobatin."

Jeri yang tadi menyembunyikan wajahnya di balik guling, kini mulai beranjak dan memindahkan kepalanya ke pangkuan Sarah.

"Alasan kamu gak nangis bukan karena luka itu gak sakit, tapi karena kamu gak mau keliatan lemah di depan Retha, ya kan?"

Jeri membuka matanya dan menatap wajah Sarah dari bawah. Mata Sarah yang menatap ke depan, menerawang jauh ke belakang saat dimana Jeri masih menjadi Jeri kecilnya yang manja.

"Jeri kangen Irene ma," Jeri memutar tubuhnya dan mendekap pinggang Sarah erat, menenggelamkan wajahnya ke perut sarah.

"Mama juga kangen Irene..." Sarah membalas dekapan anaknya dengan usapan hangat di bagian punggung Jeri. "Jangan jadiin kepergian Irene sebagai tameng kamu untuk ngejauhin Retha, Retha gak salah Jer."

"Jeri sayang dia ma," Sarah yang mendengar pernyataan anaknya hanya mengangguk dalam diam. "Jeri sayang Retha."

===DON'T FORGET TO VOMMENT===

100 Votes is that possible?

REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang