(Part 2)

258 4 0
                                    

“Sharon, kalau nggak salah umur kamu masih 15 tahun yaa?” Tanya Mikha memecahkan kehingan di antara kami.

“Iya, emang kenapa?”

“Berarti umur kamu sama kaya aku! Lahir bulan apa?”

“April.”

“Aku sih lahir bulan November.”

Aku hanya menatap lurus kearah koridor. Tak lama kemudian sampai lah kami di kantin. “Mau pesen apa nih?” Tanya Olive. “Aku pesen pasta sama lemon tea. Kalau kamu mau pesen apa, Mik?” Tanya Gabrielle kepada Mikha. “Disini ada nutriboots nggak?” Tanya Mikha. “Nutriboots itu apa? Kayaknya nggak ada deh.” Jawab Gabrielle. “Nutriboots itu minuman juga, banyak rasanya. Kalau gitu aku pesen lemon tea juga deh. Kamu pesen apa?” Tanya Mikha kepadaku. “Aku pesen air putih aja deh sama salad satu.” Jawabku singkat. “Kalau gitu kamu sama Mikha cari tempat duduk yaa? Biar aku sama Gabrielle yang pesen makanan.” Ucap Olive, lalu meninggalkan aku dengan Mikha. “Gimana kalau kita duduk disana?” Tanya Mikha sembari menunjuk kearah bangku kosong. Aku hanya megangguk. Lalu kami berdua jalan menuju bangku tersebut, setelah itu duduk menunggu Olive dan Gabrielle. Aku hanya diam dan menopang dagu. Begitu pun Mikha, tapi dia menatapku. Aku menatap dia balik. “Kamu kenapa? Kok ngeliatin aku gitu banget?” Tanyaku yang mulai heran dengan tingkah laku Mikha. Mikha tersenyum. “Nothing. Aku aneh aja sama kamu.” Jawab Mikha yang masih menatapku. “Aneh? Kata orang-orang sih aku emang aneh tuh” Jawabku di iringi suara tawa. “Maksud aku, kamu itu aneh karena kamu cuek banget. Aku baru ketemu cewe kaya kamu. Biasanya kalau cewe ketemu aku bawaanya tuh mereka suka kecentilan gitu.” Ucapnya menjelaskan. “Sorry, aku nggak kaya cewe lainnya.” Ucapku datar. Lalu aku mengeluarkan novelku dalam tas dan membacanya. Tak lama kemudian Gabrielle dan Olive datang membawa pesanan. Mereka berdua terlihat senang karena bisa mengobrol banyak hal dengan Mikha. Aku hanya diam dan memilih membaca novelku. Tiba-tiba ada yang tiga orang mendatangi meja kami. Mungkin itu salah satu senior. Dia berbicara dengan Mikha. “Hai, Mik! Gimana kelas barunya? Mereka temen baru lo?” Ucap salah satu senior yang rambutnya keriting dan berkulit hitam manis. “Gitu deh. Iya, mereka temen baru gue. Kenalin ini Olive, ini Gabrielle, dan ini Sharon.” Dia menyebut nama belakangku dan aku tak suka itu! Sebab yang memanggil aku dengan sebutan Sharon hanya almarhum kakakku. “Hei, jangan panggil aku Sharon! Panggil aku Coraline!” Ucapku agak sedikit marah. “Hei, santai gadis cantik. Coraline itu terlalu panjang untuk nama panggilan, jadi Mikha memanggilmu Sharon. Benar kan, Mik?” Ucap laki-laki berkulit putih, sedikit terlihat gendut dan bermata sipit. Aku hanya diam. Dan tak mau mendengarkan mereka. Mereka malah bergabung dengan kami. Aku tak suka! Aku berniat untuk meninggalkan mereka dan ingin menyendiri di dalam perpustakaan. Tapi saat aku berdiri meninggalkan mereka, ada seseorang yang menarik tanganku. Saat aku menoleh, laki-laki itu tersenyum. “Kamu mau kemana? Boleh aku ikut?” Tanya laki-laki tersebut kepadaku. “Ke perpustakan, boleh.” Jawabku singkat. “Soal kelakuan adikku tadi maaf yaa. Dia emang suka manggil orang dengan nama belakang. Kenalin namaku Reuben, kakaknya Mikha. Kalau yang rambutnya keriting tadi, namanya Mada kakakku dan kakaknya Mikha juga. Kalau yang agak gendur dan matanya sipir dia sepupu kami, namanya Jeremy.” Ucap dia menjelaskan. “What? Dia kakaknya Mikha? Tau gitu sih nggak bakal deh aku izinin dia ikut ke perpus. Pasti sama-sama nyebelin.” Ucapku dalam hati. “Jadi nama kamu Coraline yaa? Kamu itu seumuran sama Mikha kan?” Tanya Reuben lagi. Aku hanya mengangguk dan sekarang tatapanku tertuju kepada seorang wanita yang sedaritadi melihatku yang berjalan dengan Reuben. Aku pikir dia kekasihnya. Karena sepertinya dia menatapku penuh kebencian dan rasa cemburu. Tapi aku tidak peduli kan itu. “Reu, kamu kenapa mau jalan sama cewe cupu kaya dia?” Ucap perempuan tersebut saat kami melewat di hadapannya. “Kalau ngomong di jaga yaa.” Jawab Reuben datar. “Reu, kamu kemana?” Tanya perempuan itu lagi. “Ke perpustakaan.” Jawab Reuben singkat. “Mending ikut aku ke mall. Kamu temenin aku belanja.” Perempuan itu memeluk tangan kanan Reu. Tapi yang aku lihat Reuben merasa risih. “Viola, kamu ini apa-apan sih? Lepasin tangan aku! Aku mau ke perpus!” Ucap Reuben yang sedikit berteriak. “Jadi kamu milih ke perpustakaan bareng cewe cupu ini di bandingin jalan ke mall sama aku?” Tanya perempuan itu yang sedikit terlihat manja. “Iya, aku milih ke perpus bareng Coraline daripada ke mall sama kamu! Dan aku nggak suka kamu kaya gini! Lepasin tangan aku!” Teriak Reuben yang nadanya terdengar naik satu oktaf. Lalu Reuben menggenggam tanganku dan lari menjauhi perempuan tersebut. Aku bingung dan aku hanya mengikutinya saja. Setelah merasa aman dan jauh dari perempuan tersebut kami berhenti berlari. Tapi tangan Reuben masih menggenggam tanganku. “Hm… bisa tolong lepasin genggamannya?” Pintaku kepada Reuben. “Oh iya… maaf. Btw, omongan Viola jangan di masukin ke hati yaa?” Ucapnya setelah melepaskan tanganku dari genggamannya. “Tenang aja, aku udah biasa di kayak gituin. Aku nggak pernah denger apa yang mereka omongin. Lagian nggak penting juga sih dengerin omongan mereka. Dan omongan mereka nggak akan bisa menguba hidup aku.” Kataku di iringi tawa. “Kamu kalau ketawa lucu juga. Dan terlihat lebih cantik daripada saat kamu diam dan marah kayak tadi.” Aku merasa pipiku berubah menjadi merah dan astaga jantungku berdetak lebih cepat. Aku hanya tertunduk menutupi rasa maluku. Tapi aku yakin Reuben pasti melihat pipiku yang berubah menjadi merah. “Mau sampai kapan kamu nunduk gitu? Kita udah nyampe perpus.” Kata Reuben lalu mencubit pipiku. Setelah itu dia masuk ke dalam dan meninggalkanku di depan pintu masuk perpustakaan. “Astaga Reuben kenapa sih? Baru kenal udah bikin melting. Duh jadi deg-degan kan.” Ucapku dalam hati. Lalu aku masuk dan mencari buku biografi. Ketika aku sedang mencari buku, tiba-tiba ada yang melepas kacamataku. Dan ada tangan yang menutup mataku. “Aduh ini siapa sih? Lepasin dong tangannya dari mata aku.” Ucapku yang kebingungan. “Kamu harus tebak, nanti baru aku lepasin.” Ujar suara seseorang yang menjahiliku itu. Apa dia Reuben? Tapi mengapa suaranya berbeda. “Jangan bercanda di perpus dong, nanti di marahin orang.” Kataku yang sedikit mulai kesal. “Iya deh, maaf yaa. Ini kacamatamu.” Ternyata yang menjahiliku itu Mikha. Dia hanya tersenyum sambil menatapku. “Ngapain kamu disini?” Tanyaku kepada Mikha. “Mau ketemu kamu lah, masa mau ketemu Reuben.” Ucap Mikha di iringi tawanya yang khas. “Jadi dari tadi kamu ngikutin aku sama Reuben?” Tanyaku lagi. “Gitu deh. Kamu cari buku apa? Aku bantuin cari yaa.” Kata Mikha lalu berjalan mendahuluiku. “Kamu nyari buku ini?” Mikha menunjukan buku majalah anak-anak. “Mik, itu kan buku majalah anak-anak. Aku itu nyari buku…” Sebelum aku menyelesaikan perkataanku Mikha memotongnya. “Oh buku ini yaa?” Dia menunjukan buku resep makanan. “Aduh Mikha, kok buku resep makanan sih? Kamu laper yaa?” Ucapku di iringi suara tawa. “Kamu tau aja deh. Temenin aku makan siang di luar yukk?” Ucap Mikha yang mengajakku. “Nggak bisa. Aku masih punya satu jam pelajaran lagi, Mik.” Jawabku menolak. “Aku malah dua jam pelajaran lagi. Udah kita bolos aja, baru sekali ini. Mau yaa?” Ucap Mikha yang berusaha mengajakku. “Hm… gimana yaa? Kayaknya….” Belum selesai aku berbicara, Mikha menarik tanganku dan berlari keluar perpustakaan. “Mik, jangan lari-lari cape!” Mikha masih terus berlari sambil menarik tanganku. “Aduh, Mik, pelan-pelan sakit nih tangannya!” Mikha masih terus berlari, mau tak mau aku mengikutinya karena tanganku di tarik olehnya. Setiba di parkiran, Mikha mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya, dan dia segera membuka pintu mobil. Lalu ia menyuruhku masuk. Di dalam mobil aku hanya diam dan memegang pergelangan tanganku yang merah karena di tarik oleh Mikha. Mikha melihat ke arahku, dan wajahnya tampak bersalah. “Sakit yaa? Maaf. Sini aku obatin.” Mikha mengambil lengan kananku yang merah. Setelah itu dia malah mencium tanganku. “Udah sembuh kan?” Tanya Mikha sambil menatapku. Kali ini pipiku benar-benar merasa panas, dan rasanya ingin meledak! “Pipi kamu merah tuh, lucu deh!” Lalu Mikha mencubit pipiku dan mulai mengendarai mobil.

I will try to love youWhere stories live. Discover now