[4] Filosofi Cokelat

631 94 3
                                    


PART 4

Langit Sognare bagai kanvas putih yang dibubuhi cat biru, awan-awannya begerak bersamaan semilir angin, burung-burung yang mengawang diangkasa mengepakan sayapnya beberapa hentakan, mengantarkan mereka melesat dengan penuh keindahan, iris mata Dave seolah mendapatkan pantulan dari langit, berwarna abu-abu teduh, meraba-raba perasaannya ditengah ramai dan mewah istana yang ternyata hanya sebongkah hampa, dari ketinggian menara istana ia merindu, membiarkan setiap hembusan nafasnya memanggil jiwa yang terpisah jauh darinya.

Dave menengadah, menatap hamparan mahkota langit. "Keeran." Ia memanggil nama yang tercekat ditenggorokannya dengan udara yang ia hela.

Dave melihat jari-jemari yang ia tekukan bersamaan dengan hitungan angka yang terlontar dari bibirnya, berharap semakin-hari akan semakin cepat dilalui sampai tiba waktunya siklus kewanitaan gadis itu, lelaki itu sudah menyusun rencananya dengan sangat rapih untuk menjemput Keeran.

---

Keeran memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak, udara yang dihirupnya seperti menyebarkan panas yang meradang mengisi paru-parunya dengan sebuah perasaan membakar. Sementara otaknya bak proyektor bioskop yang terus memutar film yang sama berulang-ulang, sebuah visualisasi seseorang bertubuh tegap dan bermata sipit yang terus tersenyum kearahnya, menggoda kebenciannya untuk meluruh bersama perasaan bernamakan rindu. "Dave." Keluhnya dalam semua ketidakmampuannya berpura-pura membenci.

"Jadi siapa itu, Dave ?"

Keeran tak berkata apapun begitu melihat Maxime keluar dari kamar ke tiga, terlihat begitu gagah mengenakan blazer, kemeja, dan celana serba hitam, lelaki itu menurunkan kacamata hitamnya ketengah tulang hidungnya, mengarahkan bola matanya yang berbinar bersih kearah Keeran.

Maxime duduk, mengambil tempat tepat dipinggir Keeran, ia menarik sebatang cokelat dari saku celenanya, membuka bungkus plastiknya dan mengunyahnya dengan santai.

Mata Keeran tak lepas dari lelaki disebelahnya, mencoba masuk kedalam pikiran lelaki itu, tapi satu-satunya kata yang bisa ia baca dengan jelas adalah kata yang membuat lelaki ini semakin menarik. Cokelat? Keeran keheranan.

"Kau mau cokelat ?"

Keeran spontan menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya kenapa isi kepalamu itu hanya diisi oleh satu kata, itupun cokelat?" Tanya Keeran.

"Karena aku menyukainya."Jawab Maxime, ia membuka lagi bungkus kemasan cokelatnya. Melihat cokelat yang sudah terbuka ujungnya itu dengan seksama. "Cokelat punya filosofi bagus. Akan meleleh apabila dihangatkan. Manusia juga begitu."

"Sudah menemukan cara membujuk Rinaz ?" Tanyanya, alisnya terangkat satu, tapi sudut bibirnya terlihat menggemaskan ketika melengkung keatas, membentuk sudut simpul yang memperlihatkan lekukan cekung dipipinya, lesung pipi yang dalam yang menenggelamkan setiap mata yang melihatnya.

"Belum."

Maxime tergelak. Lelaki itu mengacak rambut Keeran gemas. "Sudah kuberikan clue, kalau manusia itu seperti cokelat, akan meleleh bila dihangatkan. Apa kau tidak berpikir Rinaz juga seperti cokelat?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Cokelat itu manis, dan aku tidak bisa mendeskripsikan Rinaz kedalam kelompok yang manis." Ujar Keeran.

Maxime tergelak lagi, kali ini lelaki itu mencubit pipi Keeran. "Kau ini menggemaskan." Matanya melirik kearah Keeran penuh makna. "Hati Rinaz itu sudah lama kosong. Hampa. Bukannya salah satu untuk meluluhkan hatinya dengan membawa kehangatan yang dia butuhkan?"

"Kehangatan seperti apa maksudmu? Jangan macam-macam kami kaum falks tak akan tidur dengan siapapun yang bukan tercipta untuk kami. Kami hanya tidur dengan Mate kami."

Mr. DetectiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang