Tiga tahun terlewati

160 1 0
                                    

Ribuan pagi telah kulewati. Setiap aku membuka mata, ratusan kali aku menyadari bahwa aku telah kehilanganmu. Ratusan kali pula aku tak pernah beranjak kemana pun. Hari demi hari telah menjadi kenangan, namun tak ada satu pun hari di mana aku mampu melupakanmu. Seperti penyakit kronis yang sedikit demi sedikit merusak tubuhku.

Setahun pertama aku melewati itu dengan banyak sekali luka yang harus aku obati. Hingga air mata menjadi muak karena rasa sakitku. Terseok-seok aku melangkah. Jatuh, menangis, bangkit. Proses itu kulalui hingga tak terhitung oleh ingatanku. Apa terluka oleh cinta pertama semenyedihkan ini?

Aku memakai topeng manusia paling bahagia di dunia ini. Hingga tidak ada satu pun yang menyadari air mataku sudah berkali-kali membasahi bumi. Hidup dalam kepura-puraan dan kebohongan atas diri sendiri, menyedihkan. Aku mengakuinya.

Tahun kedua aku melewati itu dengan matinya perasaanku. Aku menghilang dari pandanganmu. Menutup setiap celah kabar bahkan angin yang membisikkan namamu. Aku mengatakan akan pergi sebentar dan kembali saat memaafkanmu. Aku yang sudah terlalu muak menjalini peran semu, akhirnya menyadari bahwa setiap aku membuka mata. Aku tidak pernah lupa hari di mana kau menyakitiku. Itu lah hukuman mati untukku dalam memasuki tahun ketiga.

Kebodohan, penyesalan, luka, amarah dan bahagia akibat sikapmu berbondong-bondong mendatangi rumahku. Hanya beberapa kali aku menyadari hanya setetes air mata yang mampu kujatuhkan. Ketakutan yang terjadi dalam diriku, muncul setelah satu adegan drama yang mengingatkanku akan luka. Aku menyimpan segala kesakitan dalam diriku dan berpura-pura bahagia, itulah sebenar-benarnya rasa sakit. Ternyata aku begitu takut, untuk merasakan hidup seperti itu lagi.

Aku bukan takut kau sakiti. Aku bukan takut untuk jatuh cinta. Aku hanya takut merasakan sakit sangat dalam hingga tidak tahu bagaimana bertingkah menjadi sakit. Lalu hidup menjadi seorang yang konyol hanya ingin tidak ingin terlihat sakit. Ratusan kali aku membodohi diri sendiri hanya untuk mendapat pengakuan dari mulutmu bahwa aku baik-baik saja, meski ternyata aku tidak baik-baik saja.

Tiga tahun juga aku menunggu kau kembali. Hanya mampu bersembunyi di balik pohon rindang. Menatap punggungmu. Bahkan hanya mampu melihatmu ketika kamu sedang merangkul wanita terkasihmu. Hari ini sudah kulewati segalanya, aku hanya ingin berbalik. Berjalan ke arah lain. Lalu menyakini diri sendiri.

"Bukankah sudah cukup bagiku tiga tahun menunggu ia berbalik dan berjalan kembali ke arahku? Sekarang waktunya aku berjalan ke arah yang berbeda. Apakah aku melakukan hal yang benar?"

******

Bulan September, entah tanggal berapa, saya akan mengakhiri tulisan di buku ini. Sebuah rantai akan terlepas di bulan itu. 

Semestaku, kamu ( puisi )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang