"Apa gosip itu benar? Katanya ayahmu di penjara karena merampok dan membunuh seseorang."
Pertanyaan yang tidak ingin kudengar keluar dari mulut temanku, aku tidak ingin menjawabnya. Sangat tidak ingin menjawabnya, karena aku tau mereka akan menjauhiku setelahnya.
Di tengah kerumunan anak-anak yang penasaran dengan jawabanku, aku terbata dan berkeringat dingin. Menatap mereka satu persatu membuatku takut, tatapan ingin tahu mereka sebentar lagi akan berubah menjadi tatapan jijik dan benci. Siapa yang ingin berteman dengan anak seorang pembunuh?
"Kenapa diam saja Sera?"
"Jadi semua itu benar?"
"Cepat jawab pertanyaan kami."
Aku merasa di desak dan sulit bernafas.
"Itu semua..."
"Astaga... Kalian tidak ada kerjaan lain selain memenuhi rasa lapar kalian terhadap gosip yang tidak bermutu itu?" Suara Bara memecah kerumunan itu.
"Kita semua penasaran, Bara. Memangnya kamu tidak apa-apa berteman dengan anak seorang pembunuh?" Tanya seorang anak berkacamata tebal dengan rambut di kuncir kuda.
"Tidak ada yang berubah, baik ayahnya seorang pembunuh ataupun bukan. Sera tetaplah Sera, jangan pernah ganggu dia lagi."
Dengan satu tarikan, Bara membuatku berdiri dari tempat duduk yang serasa kursi panas itu. Dia menyeretku dengan menggenggam erat tanganku, membawaku menjauh dari kerumunan penasaran.
Berakhir di ujung koridor sekolah, tepat di depan toilet aku tersungkur dan menangis tersedu-sedu. Tidak peduli ada anak lain yang melihatku atau dihampiri guru sekalipun, yang aku tahu aku ingin melepaskan kekesalanku dan menangis sejadi-jadinya.
Tangan Bara begitu hangat, menepuk-nepuk pundakku yang berguncang-guncang karena tangis. Sesekali ia mengusap puncak kepalaku tanpa mengatakan apa-apa.
***
Aku membuka mata setelah perlahan kupejamkan karena pening, Bara Herlambang duduk di depanku saat makan siang.
"Bisakah kamu tidak memasang wajah cemberut seperti itu di depanku?" Tanyanya sembari mengelap sendok dan garpunya dengan tisu, aku ingat kebiasaan itu.
"Aku tidak suka ditatap tajam oleh pegawai lain karena duduk bersamamu."
Terutama oleh pegawai wanita yang rata-rata tertarik dengan Bara. Secara fisik Bara adalah sosok yang sempurna bermata tajam, hidung mancung, dan tinggi dengan kulit putih langsat. Semasa SMA ia sering menjadi model majalah fashion dan majalah ABG.
"Aku pikir keahlianmu adalah mengabaikan tatapan mereka." Ucapnya sambil menatap lekat manik mataku.
"Saya ingin makan dengan tenang, Pak."
Aku segara bangkit tanpa menyelesaikan makan siangku, pergi tanpa menatapnya dan meletakkan nampan yang masih terisi penuh di tempat pencucian.
"Kamu kenal sama dia, Ser?"
Aku mendengus mendengar pertanyaan yang datang tiba-tiba, Iva mengamit lenganku dan bertanya sekali lagi.
"Kenal dimana?"
"Aku mengenalnya dua hari yang lalu saat dia datang ke kantor ini." Jawaban yang sukses membuat Iva merengut.
"Benarkah? Tapi kelihatannya kalian sudah saling mengenal dan terlihat sangat dekat."
"Aku tidak merasa begitu dan kenyataannya kami tidak dekat." Tidak dekat lagi, imbuhku dalam hati.
"Jangan-jangan dia tertarik padamu!" Teriak Iva hingga aku membuat jarak dengannya.
"Jangan sembarangan, aku tidak ingin ada gosip yang tersebar karena mulut beomu itu."
Iva mengantup mulutnya rapat-rapat dan menutupnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain membentuk tanda V dengan dua jarinya. Aku menyambut aksi tutup mulutnya dengan senyuman.
Banyak hal yang kusembunyikan dari orang di sekitarku, tentang kisahku di masa lalu. Siapa orang tuaku, dimana aku bersekolah dahulu, semua itu benar-benar sudah kubuang jauh-jauh. Iva adalah temanku di tempat kerja, teman yang tidak pernah protes saat kata-kata kasar keluar dari mulutku.
"Waaaah......" Iva berseru hebat, dia berdiri di depan meja kerjaku. Aku menghampirinya dan mendapati sebuket bunga mawar putih bertengger di meja kerjaku. Aku menghela nafas frustasi, Bara lagi?
Kuambil bunga itu, kubaca tulisan di secarik kertas berpita. Senyumku langsung merekah, menggantikan rasa kesalku sepanjang pagi hingga siang ini.
Jangan lupa bawa payungmu, Sera.
Sunshinee Cafe, 19 pm.
I miss youReno
"Wah, senangnya dapat bunga dari sang kekasih." Goda Iva, dia mencolek-colek pipiku.
"Berhenti membuat keributan, Va."
Iva mengangkat bahu dan duduk di tempatnya. Aku kembali tersenyum menatap buket mawar putih yang entah sejak kapan dan bagaimana bisa sampai di sini.
"Jadi kamu masih menyukai mawar putih?" Bisik suara yang sedari pagi selalu menggangguku.
Aku tersenyum masam dan mengabaikannya. Dia tidak membiarkanku tenang sama sekali.
"Mungkin benar kamu sudah melupakan tentangku, tentang kita. Tapi aku tidak pernah lupa tentangmu, Sera. Semua tentangmu." Bisiknya pelan di telingaku, agar hanya aku yang mendengarnya.
Tapi kamu melupakan bagian paling penting, melupakan bagaimana jahatnya kamu membuangku. Imbuhku dalam hati, tidak ingin berdebat panjang dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Away
Short StorySakit yang dia tinggalkan masih tersisa hingga kini, saat aku melihatnya terasa luka itu dirobek lagi. Dia mungkin tidak mengerti apa kesalahannya, hingga masih bisa tersenyum seperti itu padaku.