"Tunggu dulu, itu tidak hygenis."
Bara merebut sendok dari tanganku sebelum aku menyendok bakso milikku. Ia lalu membersihkannya dengan tisu."Ini sudah dicuci abang tukang baksonya, Bar." Protesku karena dia menggangguku yang sudah tidak sabar menyantap bakso yang terlihat enak di depanku.
"Tetap saja, habis dicuci dipegang-pegang lagi sama abang tukang baksonya." Omelnya sembari menyerahkan sendok kepada yang berhak. Akhirnya aku bisa makan.
Hampir tiga tahun aku menghabiskan masa SMP dengan Bara, sebentar lagi ujian nasional dan aku akan masuk di sekolah yang sama dengan Bara. Hanya apabila ada Bara di sana aku merasa senang dan tidak kesepian.
Mengingat janji Bara hari itu, hari di saat aku benar-benar hancur.
"Terimakasih sudah mengantarku." Ucapku lembut dengan senyum tulus. Bara melambaikan tangannya menandakan ia akan segera pergi.
"Dasar wanita sampah!" Suara makian terdengar menggema dari dalam rumahku, seketika jantungku berdegup kencang. Bara menatapku penuh tanya.
Pintu rumah dibuka dengan kasar, membuatku terlonjak kaget dan mundur beberapa langkah. Seorang laki-laki paruh baya melangkah dengan angkuh dengan kaki yang sedikit menghentak. Dia menatapku tajam kemudian berlalu tanpa kata.
Seorang wanita berdiri di depan pintu dengan gaya berantakan, rambut tergerai acak-acakan dan celana pendek di atas lutut. Dia ibuku, ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Ibu yang bekerja di bar setiap malam semenjak ayahku masuk penjara. Ibu yang akhir-akhir ini sering membawa orang asing masuk ke dalam rumah.
Ibu menatapku tanpa ekspresi, dia lalu bergumam tidak jelas.
"Dasar anak pembawa sial." Gumamnya kemudian berlalu dan membanting pintu.
Kalimat terakhir yang membuatku bergetar hebat dan tak kuasa membendung air mataku. Ada apa dengan hidupku, kenapa aku harus mengalami semua ini.
Sebuah tangan mengamit lenganku, Bara. Aku melupakan kehadirannya, aku lupa bahwa dia masih berdiri di depan rumahku. Aku menarik diri dan lari meninggalkannya, tidak ingin melihat tatapan kasihan atau jangan-jangan tatapan jijik darinya.
Entah kemana, aku hanya berlari tanpa arah. Perasaan takut menghantuiku, hadir dalam setiap bayang-bayang langkahku.
"Sera." Suara Bara menyerukan namaku, aku mengacuhkannya. Hanya berlari sambil terus meneteskan air mata.
"Sera!"
Bara menjamah tanganku, aku berhenti. Aku mengatur nafas yang terengah-engah dengan hidung yang sedikit tersumbat. Bara menarik pelan tanganku, mengisyaratkan agar aku mengikutinya.
Aku yang mengikutinya tanpa suara, hanya memandang punggung dan semburat urat-urat lehernya. Bara dan aku berhenti di depan sebuah pohon besar yang sangat rindang, mengingat matahari sangat terik siang ini.
Beberapa detik kemudian dia menghempaskan tubuhnya dan duduk bersandar pada batang pohon besar itu, matanya menatap lekat padaku. Aku mengalihkan pandanganku.
"Sera, duduklah."
Aku mengacuhkannya, masih berdiri terpaku di tempatku dengan keadaan sedikit terisak.
"Aku tau ini kotor, tapi aku lelah melihatmu berdiri seperti itu. Jadi duduklah." Pintanya jauh seperti memerintah anak kecil yang tidak mau mendengarkan.
Tanpa berpikir lagi aku duduk dan menekuk kakiku. Hening yang panjang menyelimutiku dengannya, aku menengadahkan kepala dan menikmati angin yang membuat dedaunan bergoyang di atasku. Sekali lagi air mata membanjiri kedua pipiku.
"Sera, berhentilah menangis."
"Kamu melihatnya Bara, dia ibuku. Aku punya seorang ayah pemabuk yang berakhir di penjara karena merampok dan membunuh seseorang, lalu ibuku....." Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku karena terisak.
Bara menghela nafas panjang hingga ia mendekat padaku dan melingkarkan tangannya di bahuku, sesekali mengelus puncak kepalaku.
"Aku lelah Bara, setiap hari mendengar makian ibuku. Mendengar hujatan dari orang lain dan ejekan dari anak-anak, bahkan tatapan jijik dari teman-teman saat mereka tau siapa ayahku." Aku menunduk, tidak ingin menunjukkan wajah kacauku. Bara melepas rengkuhannya.
"Sera." Ucapnya lirih, dia sudah ada di depanku. Mengangkat daguku dan menghapus air mataku dengan kedua ibu jarinya.
"Aku tidak pernah menatapmu begitu, terlepas siapa ayah dan ibumu. Sera tetaplah Sera, gadis baik yang lugu dan penyayang. Jangan pernah berpikir kalau kamu sendirian, aku selalu bersyukur bisa mengenal seorang Sera. Aku akan selalu ada bersamamu, Sera. Aku janji tidak akan meninggalkanmu sendirian."
Ungkapan Bara yang begitu menenangkan namun membuatku kembali terisak, mengingat rasa takut menghantui diriku lagi.
"Bara.........." Aku tidak sanggup berkata-kata lagi.
"Pegang janjiku Sera, aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Ucapnya lantang dengan penuh keyakinan menatap dalam di kedua manik mataku.
Dan aku menpercayai janji itu. Janji Bara Herlambang kepada Meisera Ananda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Away
Short StorySakit yang dia tinggalkan masih tersisa hingga kini, saat aku melihatnya terasa luka itu dirobek lagi. Dia mungkin tidak mengerti apa kesalahannya, hingga masih bisa tersenyum seperti itu padaku.