Aku terbangun dari tidurku, mimpi tentang Bara membuatku tidur tidak tenang. Kenangan yang kukubur dalam-dalam seenaknya saja berdatangan seperti serangkaian puzzle yang siap untuk disusun rapi.
Jam menunjukkan pukul 2 pagi, aku berjalan menuju dapur dan menyesap segelas air putih. Di apartemen ini aku sendirian, yah. Aku sudah hidup sendirian sejak lulus SMP, saat umur 15 tahun aku memutuskan keluar dari rumah.
Aku tersenyum masam mengingat betapa sulitnya hidupku, sekolah SMA dengan beasiswa, harus bekerja sepulang sekolah untuk mencukupi kehidupan sehari-hari dan bayar kost. Saat itu aku berpikir ibuku telah membuangku, tapi seiring dewasanya diriku aku sadar bahwa akulah yang telah membuang ibu.
Begitu penyesalan datang selalu saja terlambat, terakhir aku kembali dan mencari ibuku semua sudah terlambat. Aku hanya bisa menatap gundukan tanah dengan batu nisan yang bertuliskan namanya.
22 missed call. Aku menghela nafas panjang saat menatap layar telpon genggamku, 22 panggilan tak terjawab dari Reno. Apa yang sudah kulakukan padanya, aku tidak bermaksud meninggalkannya seperti itu. Aku terlalu dipenuhi rasa takut hingga melupakan kehadirannya.
Kutekan tombol call back, beberapa saat setelah telpon tersambung. Suara Reno terdengar dari seberang sana, aku tau dia tidak tidur.
"Sera, aku minta maaf. Aku tau kamu belum siap untuk berkomitmen tapi aku, ah..." Terdengar nada frustasi dari suaranya.
"Jangan tinggalkan aku seperti itu lagi." Pintanya lirih."Aku minta maaf, tidak seharusnya meninggalkanmu seperti itu dan membuatmu malu."
"Aku memaafkanmu Sera tapi aku butuh penjelasan, sedikit saja penjelasan darimu agar aku bisa tenang. Bukankah sudah saatnya kamu terbuka padaku, aku sudah menunggumu selama ini."
Aku selalu menghindari pertanyaan seputar tentang diriku, terutama diriku di masa lalu. Reno hanya mengenal dan mencintai Sera yang sekarang, aku takut ditinggalkan jika dia tau siapa Sera sebenarnya. Aku belum siap ditinggalkan lagi.
Aku memejamkan mata dan meresapi setiap nada-nada permohonan dari Reno, bisa kubayangkan raut wajahnya saat ini.
***
Semangkuk soto ayam sudah terlanjur dingin, sedari tadi aku hanya mengaduk-ngaduk tanpa menyuapnya. Makan siang di kantin kantor sendirian telah menjadi kebiasaanku, Iva tidak akan tahan duduk dengan wanita pendiam sepertiku. Dia lebih senang makan sambil bergosip di meja lain.
Doaku hari ini adalah Bara tidak menggangguku, satu hari ini saja. Karena rasanya aku terlalu kalut, tidak punya tenaga untuk terus menghindarinya.
"Kamu tidak akan kenyang hanya dengan mengaduk-aduk dan menatapi soto ayam itu."
Arggggh..... Baru saja aku berharap dan berdoa agar tidak ada gangguan dari dia untuk hari ini.
"Sejak kapan kamu suka tauge?" Tanyanya lagi, masih kuabaikan.
Sejak kapan soto ayamku ada taugenya? Ah, aku lupa memberitahu ibu kantin untuk tidak memasukkan sayur yang satu itu.
Tanpa banyak basa-basi sesuap soto ayam dengan tauge masuk ke dalam mulutku, rasanya sungguh tidak enak. Kuah yang sudah dingin bercampur rasa pahit dari tauge, membuatku ingin memuntahkannya.
Bara menatapku heran, dia tersenyum membaca ekspresiku. Dengan cepat menarik mangkuk itu menjauh dari hadapanku.
"Akan kupesankan yang baru."
Tanpa menunggu persetujuanku, Bara memesankan semangkuk lagi untukku. Menaruhnya tepat di depanku, terlihat asap mengepul dari mangkuk menandakan bahwa isinya masih panas.
Dia tersenyum menatap wajah kesalku, bagaimana mungkin dia bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Membersihkan sendok dengan tisu dan lalu meletakkannya di mangkukku.
Aku mengambil sendok itu dan mulai menyuap pelan-pelan, seberapapun kesalnya aku pada Bara aku harus melupakannya sejenak dan menyudahi rasa laparku.
"Jadi apakah aku sudah dimaafkan?"
Aku menghentikan kegiatan makanku.
"Aku tidak ingin membahas apapun, jangan ganggu selera makanku. Dan ingat Bara, aku sudah melupakannya. Jadi tolong jangan mengungkit yang lalu." Ucapku kesal.
"Jangan bohong, Sera. Jika kamu sudah melupakannya kamu tidak akan dingin terhadapku. Jika kamu sudah melupakannya kamu tidak berubah menjadi menyebalkan seperti ini."
Tidak tahan dengan tatapannya, aku memalingkan wajahku.
"Izinkan aku menjelaskan semuanya, alasan kenapa aku pergi." Ucapnya lagi.
"Harusnya kamu tidak perlu kembali, aku benar-benar sudah melupakanmu hingga kamu tiba-tiba datang lagi di kehidupanku." Balasku geram, tanpa sadar telah membuat perhatian tertuju padaku. "Aku ingat rasanya ditinggal, sakitnya seperti dihunus pedang tajam. Aku ingat pahitnya masa lalu saat semua orang menghujatku dan itu semua karena kamu, Bara." Aku setengah berteriak padanya, terasa sesuatu menggenang di mataku.
Dasar anak pembunuh!
Anak tukang rampok!
Ibunya kan seorang pelacur!
Kasian deh gadis miskin!
Sera itu anak pembawa sial.
Hati-hati dia juga bisa membunuh seperti ayahnya.
Jangan-jangan dia juga bekerja seperti ibunya!
Aku tidak ingin berteman denganmu.
Aku membencimu Sera, maaf kamu bukan lagi temanku.
Lalu sekelebat kenangan itu datang lagi, semakin kutepis semakin lantang terdengar di telingaku. Nafasku berderu karena amarah, aku seperti sendirian di tengah banyak orang. Tapi Bara bergeming di tempatnya, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Saat aku ingin menyentuhnya, tiba-tiba saja semua menghitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Away
Short StorySakit yang dia tinggalkan masih tersisa hingga kini, saat aku melihatnya terasa luka itu dirobek lagi. Dia mungkin tidak mengerti apa kesalahannya, hingga masih bisa tersenyum seperti itu padaku.