Sunshinee Cafe
Seorang laki-laki duduk sambil melihat ke luar jendela, lampu-lampu jalanan terlihat seperti bintang-bintang yang bertaburan dari atas sini. Aku langsung mengenalinya karena tubuhnya yang altetis dan tegap itu tampak begitu jelas. Aku menghampiri Reno yang sudah menungguku sedari tadi, senyum dengan mata coklat yang penuh binar menyambutku dan mempersilahkanku duduk di depannya.
Kubalas tatapan itu dengan senyuman termanisku, wajah sumringahnya penuh kebahagiaan. Membuatku merona ditatapnya, dia lelaki yang mengisi kekosongan hatiku.
"Sudah menyediakan payung sebelumnya?" Tanyanya membuka topik pembicaraan.
"Tidak, aku lupa membawanya."
"Jadi bersiaplah untuk menyambut.... Em....."
"Hujan rindu darimu?"
"Tepat sekali."
Tawa kami beradu dalam suasana romantis yang disajikan tempat itu, sebuah lagu jazz mengalun seperti bisikan yang menenangkan. Seorang pelayan menghampiri kami dan bersiap mencatat pesanan, aku mengisyaratkan pada Reno untuk melakukan bagianku. Dia mengerti bahwa aku sangat plin plan dalam memilih makanan.
Sesaat setelah pelayan itu pergi, Reno meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku sedikit tersipu dengan tingkahnya yang terlalu romantis di tempat seromantis ini.
"Aku sangat merindukanmu, satu minggu tidak berjumpa rasanya sudah seperti berpisah beberapa tahun lamanya." Ucapnya sambil menatap jauh ke dalam manik mataku.
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku bukan wanita yang suka mengeluarkan kata-kata romantis.
"Hari ini adalah hari spesial, aku ada sesuatu untukmu Sera."
Belum sempat aku bertanya, percakapan kami disela oleh pelayan yang datang mengantar pesanan.
"Selamat menikmati hidangan kami." Ucapnya lembut dan kemudian berlalu.
Reno sumringah menatap hidangan di depan matanya, dengan cepat ia mengambil sendok dan garpu yang di letakkan di samping piring kemudian mengelapnya dengan tisu yang disediakan.
"Aku tidak pernah lupa dengan kebiasaan yang kamu lakukan dan jadi kebiasaanku juga, untuk mengelap sendok dan garpu sebelum makan." Ucapnya sembari mengambil sendok dan garpuku lalu membersihkannya untukku.
Aku tersenyum masam. Itu kebiasaan yang selalu dilakukan Bara.
"Terimakasih."
"Kenapa kamu terlihat murung Sera? Apa terjadi sesuatu di kantor atau kamu sedang ada masalah?" Tanyanya menyelidik. "Kamu terlalu diam hari ini."
"Tidak ada, bukan apa-apa. Aku hanya merasa sedikit lelah dan pusing." Jawabku jujur, yah. Aku sangat lelah dan pusing.
"Apa sebaiknya kita pulang saja dan beristirahat. Aku tidak ingin kamu sakit." Raut cemas nampak di wajahnya, membuatku merasa sedikit bersalah.
"Aku baik-baik saja, mungkin setelah makan pusingku akan hilang."
"Kalau begitu ayo kita makan, mau kusuapi?"
"Jangan pernah lakukan itu." Tolakku, membuatnya tertawa melihat ekspresi penolakanku. Sekali lagi tawa kami menyatu dalam suasana.
"Aku punya sesuatu untukmu, Sera." Ucap Reno setelah kami selesai makan.
"Apa itu?" Tanyaku penasaran, dalam rangka apa Reno memberiku sebuah hadiah? Hari ini aku tidak berulang tahun.
"Happy anniversary yang ke tiga, Meisera Ananda. Terimakasih sudah menghabiskan tiga tahun bersamaku."
Aku terpaku saat dia menyerahkan sebuah kotak yang isinya kalung dengan mata berbentuk bintang yang di setiap sisinya ada sebuah permata. Aku lupa kalau hari ini adalah peringatan tiga tahun aku dan Reno menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih.
"Akan kupasangkan."
Aku tetap terpaku ketika dia berjalan ke belakangku, memasangkan kalung itu di leherku dan mengangkat rambut panjangku.
"Kamu suka?"
"Terimakasih, Ren. Aku suka sekali, tapi maafkan aku. Aku lupa kalau hari ini adalah hari yang istimewa, aku tidak menyiapkan sesuatu untukmu. Maaf membuatmu kecewa."
Permohonan maafku dibalas dengan senyuman dan kembali ia menggenggam tanganku.
"Bukan masalah, aku tidak mengharapkan apa-apa selain kehadiranmu." Dia menatap lekat pada jari-jari tanganku dan mengelusnya lembut.
"Ren, aku sedikit risih karena sepertinya tatapan semua orang tertuju pada kita."
Beberapa pelayan tersenyum padaku, dari kejauhan mereka saling berbisik dan menatap ke arahku lagi dan lagi. Tiba-tiba listrik padam, pandanganku menjadi gelap.
Perlahan ada seberkas cahaya di depanku, perlahan yang tadinya hanya cahaya tak berbentuk kini menjadi serangkai kalimat.
Will you marry me?
Lelaki mana yang melamar wanitanya dengan cara kuno seperti ini, aku mendengus pelan.
Beberapa detik kemudian lampu sorot mengarah padaku, entah sejak kapan Reno berlutut disampingku dan menggiringku untuk berdiri bangkit dari kursi.
"Meisera Ananda, maukah kau menikah denganku?" Tanyanya lantang, setangkai mawar putih dihadirkan di hadapanku. Bukan sebuah cincin, hanya setangkai mawar putih.
Aku terdiam lama tanpa kata-kata hingga lampu dihidupkan kembali, membuat seisi ruangan kembali nampak. Tatapan dari orang-orang pun jelas tertuju padaku, tatapan harap dari Reno dan tatapan itu.
Aku benci ditatap semua orang, aku tidak ingin mereka menatapku seperti itu. Aku takut akan berakhir seperti dulu, aku tidak sanggup menahannya. Hingga aku berlari, meninggalkan Reno yang terpaku di tempatnya dengan setangkai mawar putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Away
Short StorySakit yang dia tinggalkan masih tersisa hingga kini, saat aku melihatnya terasa luka itu dirobek lagi. Dia mungkin tidak mengerti apa kesalahannya, hingga masih bisa tersenyum seperti itu padaku.