Chapter 4

1K 50 10
                                    

Persekian detik setelah aku melirik ke arah Ujan yang tengah merapikan tali sepatunya, aku pun bergegas lari.

Lari sekencang - kencangnya.
Untuk menjauh dari Ujan.

Ngapain juga sih si Ujan ngikutin gue pulang, bukannya jalan pulangnya beda arah ya? Batinku pelan.

Perlahan langkah kaki ku pelankan, aku sudah yakin bahwa Ujan telah kehilangan jejak ku, dan tidak akan mengikuti ku hingga depan rumah. Sesaat aku menyandarkan diri pada dinding tembok yang penuh dengan gambar grafiti di sepanjang gang masjid. Aku coba mengatur napas dan hendak merapikan tali sepatuku yang acak - acakan, ini akan menyulitkanku lari nantinya.

Namun disaat jemariku ingin menyentuh tali sepatu, aku lihat ada sepatu lain di depanku. Aku berdiri, setengah kaget ternyata ia ada di depanku sekarang.

Ah Ujan, dalam hati aku meringis.

"Capek ya? Makanya enggak usah sok kuat pake lari segala ckck." Ucapnya dengan sedikit mengejekku. Aku hanya diam, sedang tak ingin berdebat dengannya.

Tak lama ia memberikan sebotol minuman ke arahku. Aku mengambilnya dengan cepat, kebetulan juga aku sangat haus karena berlari menghindari sosok pria di depanku ini. Sangat menjengkelkan.

"Ngapain?" Tanyaku.

"Pulang."

"Kan enggak searah, Jan."

Ujan hanya tertawa sesaat,

"Sebenernya, gue mau minta temenin sih, yuk." Katanya yang langsung menarik tanganku dengan cepat tanpa memberikan ku jeda sedetikpun untuk bicara.

Selama kami berjalan tanpa tujuan, Ujan hanya diam. Tetapi jari jemarinya menggenggam jemariku dengan sangat kencang namun tidak sakit, serius.

Akhirnya, kami berhenti di sebuah taman yang bisa dibilang cukup sepi, bahkan disini cuma ada aku, Ujan, dan dua orang petugas kebersihan yang sedang menyapu di sekitar taman ini.

Ujan duduk di tepian taman dekat dengan kolam ikan, aku pun menyejajarkan tubuhku dengannya.

Lalu, hanya hening kembali yang mengisi obrolan antara aku dan Ujan.

"Pelangi..." Aku menoleh.

"Pelangiiii..." Aku bergumam pelan.

"Pelangi, ish."

"Apa?"

"Dari tadi kek nyaut."

"Lo aja yang budeg."

"Pelangi,
--- enggak kerasa ya bentar lagi kita udah mau lulus. Udah mau pisah. Gue gabakal ketemu sama cewek nyebelin macem lo lagi, yang suka sms enggak jelas..."

Aku bergumam lagi. Entah kenapa, ucapan Ujan kali ini benar - benar membuatku berpikir akan kehilangan. Bulir - bulir air mata sudah hampir menetes namun tetap tertahan di balik kelopak mata.

"Perasaan kita kemarin baru ospek ya? Udah cepet banget asli."

"Namanya juga waktu, lagian kalo lebih cepat kan lebih cepat juga ngejar cita - cita."

Ujan hanya terkekeh pelan.

"Ah tuhkan gue jadi pengen nangis denger omongan lo." Ucapku.

"Yahilah dasar cengeng lo ah." Ujarnya seraya menyenggol bahuku. Kebiasaan becandaan kami memang selalu begitu, kalau tidak menyenggol bahu pasti menarik hidung sampai merah seperti badut.

Aku hanya diam manyun. Sebel tapi suka kalau dibercandai oleh Ujan. Dasar cewek labil.

"By the way, emang cewek selalu suka nulis diary ya?"

"Hah?"

"Iya emang semua cewek suka nulis diary?"

"Ada yang suka, ada juga yang enggak. Tergantung pemikiran masing - masing sih." Ucapku perlahan menjelaskan. Baru kali ini aku mendengar sosok pria terutama Ujan menanyakan tentang buku diary. Padahal ini diluar topik pembicaraan kami, biasanya Ujan dan aku hanya akan membahas 3 hal, gebetan baru, kuliah dan masa depan.

"Eh, emangnya kenapa Jan?" Lanjutku yang masih penasaran.

Tangannya merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku yang aku kenal. Sangat aku kenal.

"Gue nemu ini, dan..."

"Lo baca ya?" Ujarku kaget dan berusaha meraih buku tersebut dari tangan Ujan meskipun aku kalah cepat karena dia telah menyembunyikan di dibelakang tubuhnya.

"Iya, gue baca....."

Hatiku mencelos, pikiranku kacau saat ini. Aku berdiam sementara bulir air mata sudah melintas membasahi pipiku dengan cepat. Hanya ada rasa penyesalan akan kebodohanku.

---

Hai, yah masih sedikit nih viewersnya huhu. Tapi enggak apa - apa, gue semangat buat nulis lagi. Jangan lupa buat vote sama comment ya guys, sila baca next part ->>>>

UJAN DAN PELANGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang