Azan

182 20 28
                                    

Azan


Allahu akbar, allahu akbar

"Eh buset, siapa ini yang azan? Gila cempreng amat"

"Dino ih, busat buset!" Ana melotot ke arah Dino, di sebelahnya Imam cekikikan geli.

Imam adalah murid baru yang memang baru bergabung di kelas ini, sudah terhitung 3 kali pertemuan, termasuk hari ini. Berbeda dengan Dino dan Anggit, karakter Imam cenderung kalem. Semoga memang benar kalem, bukan karena sedang dalam proses adaptasi murid baru. Ana sudah pusing dengan kelakuan Dino dan Anggit, terlebih saat mereka saling adu mulut. Imam ini sebenarnya lebih cerdas dibanding Dino dan Anggit, tetapi tidak pernah diperlihatkannya. Wajah Imam kalau orang Jawa bilang itu sumeh, artinya murah senyum. Lucu sekali.

"Eh tapi benar kok Kak, ini yang azan nggak nyantai banget. Berasa ngajak ribut Kak, teriak-teriak gini" sambung Anggit tak mau kalah.

"Udah, didengar dan dijawab aja azannya" jawab Ana kemudian sambil menghela napas panjang. Pasalnya Ana juga mengakui kalau sejujurnya suara azan ini terlalu melengking, bahkan mirip orang berteriak, namun urung menjawab pertanyaan Dino dan Anggit yang terlihat emosi. Ana butuh mendinginkan kepalanya setelah lebih dari satu jam menjelaskan materi yang entah kenapa sangat sulit dipahami Anggit, apalagi Dino. Imam sudah turun tangan, diminta Ana untuk membantu mengerjakan 5 soal latihan di papan tulis. Ana juga sesekali memijit pelipis dan telinganya karena tidak tahan dengan suara azan yang berkumandang saat ini.

Ke mana sih Mang Deden, kok bisa anak ini yang azan! Hah.

Jika normalnya azan berlangsung 3 – 4 menit, maka azan ashar hari ini, mungkin tidak lebih dari 2 menit, cepat sekali. Ana dan ketiga muridnya merasa lega begitu azan selesai berkumandang, alhamdulillah. "Yuk baca doanya bareng-bareng" ajak Ana.

Allahumma robba hadzihid da'watit taammah wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab'atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa 'adtah ...

"Gue kayaknya familiar deh Din sama suara yang azan ini. Duh tapi siapa ya?" gumam Anggit yang tengah berpikir keras. Sekilas Ana melirik Dino dan Anggit yang masih sibuk berpikir siapa dalang dari kerusuhan azan sore ini, lalu beralih pada Imam yang masih sibuk menyalin catatan dari papan tulis ke buku catatannya.

Duaaaar!

Lagi-lagi pintu dijeblak dari luar, terbuka lebar. Kunci pintu di ruangan ini sudah rusak, akibat murid-murid yang sangat barbar saat membuka pintu. Kapan pun pintu di kelas Ana dapat terbuka karena sudah tidak ada lagi sesuatu yang dapat mengunci pintunya.

"Eh kirain cuma ada Kak Ana doang" seru seorang bocah yang sedang mengusap tengkuknya, malu sudah membuat keributan di kelas lain.

"Astagfirullah Audi, buka pintu jangan dijeblak gitu! Bahaya kalau kena orang yang ada di dalam. Pintunya rusak, mau ganti?" Ana terlihat sudah mulai gemas, ketiga muridnya tidak kalah kaget dengan pintu yang tiba-tiba dibuka keras.

"Oh iyaaa, ingat gue." Anggit menjetik jarinya. "Kamu kan yang barusan azan?" tuding Anggit dengan mengacungkan telunjuk ke arah Audi.

"Benar Di, lo yang azan?" tanya Dino kemudian.

Audi, yang ditanya dengan galak oleh Dino dan Anggit malah mengangguk antusias, merasa tidak bersalah dengan keributan yang baru saja dilakukannya. Senyum lebar tercetak di wajahnya yang bundar. Audi, Dino dan Anggit sudah saling mengenal. Tipikal anak-anak macam mereka pastinya cepat akrab, meskpiun usianya terpaut dua tahun. Sama-sama usil dan jahil, bedanya Audi masih lebih polos. Pandangan Audi beralih ke Ana usai mengiyakan pertanyaan Dino dan Anggit. "Bagus nggak Kak, suara azan aku?"

Belum sempat Ana menjawab pertanyaan Audi, Dino sudah gesit bersuara, "Suara lo tuh Di, udah- "

Ana memotong ucapan Dino dengan mengibaskan tangannya, tanda berhenti bicara. Dino mendengus sebal, tapi menurut juga. "Kok kamu yang azan Di?" alih-alih menjawab pertanyaan Audi, Ana malah melempar tanya.

"Oh itu, aku kepengin Kak hehe."

"Kok tiba-tiba kepengin azan? Tumben."

"Habisnya tadi di sekolah diceritain tentang Bilal sama guru aku, terus yaaa pengin aja gitu kayak Bilal, belajar azan."

"Bilal bin Rabbah?"

Audi mengangguk. "Weh, beda jauh lah sama Bilal" ujar Dino tiba-tiba yang dibalas Ana dengan tatapan melotot. Imam dan Anggit tekekeh kecil.

Seulas senyum terbit di bibir Ana, ternyata nggak seburuk bayangannya. Ada niat mulia dan semangat berkobar dari Audi yang mungkin saat ini sedang mencoba belajar mengumandangkan azan. Meskipun suara Audi jauh dari kata bagus, Ana menghargai keberaniannya. Biasanya dengan suara yang pas-pasan saja banyak orang yang tidak mau atau malu mengumandangkan azan, padahal bisa jadi setelah banyak berlatih suaranya menjadi lebih baik. "Banyak latihan aja Di, suara kamu udah keras. Lumayan lah nggak usah pakai toa udah bisa kedengaran juga sama teman-teman di sini. Tapi jangan kayak orang marah-marah atau teriak gitu Di, dihayati azannya supaya enak didengar. Mulai belajar dari melafalkan kalimat-kalimat azan dengan benar, setelah itu baru lanjut belajar cara mengumandangkan."

Audi mengeluarkan dua jempolnya, "Sip Kak, laksanakan. Tapi emang iya juga sih Kak, kemarin aja pas pesantren kilat, aku kalah lomba azan. Padahal baru babak penyisihan. Kan sebel." Wajahnya mendung seketika, tapi terlihat lucu di mata Ana.

"Ya iyalah kalah" gumam Anggit dengan suara pelan, tapi masih tertangkap dengar oleh Ana.

"Mang Deden ke mana Di?" tanya Ana lagi

"Ada kok Kak. Tapi tadi emang aku yang minta ke Mang Deden, supaya aku aja yang azan." Ana hanya membulat O dan menggangguk paham. "Kak, kalau gitu besok-besok aku azan lagi aja ya, biar sekalian latih-"

"Jangaaaaaaaaan!!" seru Anggit, Dino dan Imam bersamaan. Ketiganya berteriak kompak dengan wajah ngeri. Ana tertawa geli dengan pemandangan di depannya saat ini.

"Di, biar Mang Deden aja yang azan" jawab Anggit buru-buru.

"Iya Mang Deden aja yang azan" tambah Imam.

"Demi kebaikan umat Di, please lo nggak usah azan. Biarkan Mang Deden mengerjakan tugasnya. Lo belajar aja yang baik dan benar. Kalau mau latihan cukup di rumah aja, biar lebih leluasa. Okay Di?" ujar Dino dengan panjang lebar.

"Ih kok gitu sih, kan-"

"Udah Di, ambil air wudu gih. Nanti kakak-kakaknya bentar lagi ikutan nyusul" kata Ana memotong jawaban Audi. Kalau dilanjutkan perdebatannya, bisa telat salat ini, batin Ana. Akhirnya Audi mengalah dan melangkah ke tempat wudu.

"Kalau saya jadi Audi Kak, nggak bakal azan dengan suara kayak gitu. Cukup tau diri lah Kak." Dino sepertinya sudah gatal ingin berkomentar usai kepergian Audi dari kelas. "Harus dihargai Din keberaniannya Audi. Misal mau mengingatkan, memberi saran atau menasehati juga tidak dengan kata-kata yang menyinggung perasaan, biar semangatnya nggak hilang. Bahkan diam lebih baik jika kita sulit berkata dengan kata-kata yang baik."

"Kalau saya bilang sih Kak, itu namanya bukan berani, tapi nekad dan nggak punya malu hahahaha" Anggit puas tertawa sembari melepas sepatunya, bersiap ke tempat wudu. Anggit ini emang benar-benar deh, ngomongnya emang nggak banyak, pun tidak secerewet Dino sih, tapi sekalinya nyeletuk, duh jleb gimana gitu. Biasanya kalau celetukannya Anggit udah keluar, Dino yang akan jadi kompor, apalagi kalau keduanya sama-sama setuju dengan suatu hal. Jadi kebakaran deh.

"Sana deh, siap-siap ambil air wudu. Nanti keburu ditinggal imam" kata Ana memutus topik azan ini.

"Ditinggal gimana Kak, saya aja masih nulis rumus terakhir nih." Imam menjawab dengan cengengesan.

"Ditinggal imam salat maksudnya, bukan kamu. Iiish" ujar Ana.

"Lah ucul juga si Imam. Hahahaha." Suara tawa Dino disusul penghuni seluruh kelas menggema sesaat sebelum kelas dibubarkan sementara, karena panggilan salat ashar.


Ada yang kangen Dino dan Anggit? Hehe

*ngarep

I Love the Little Things You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang