Pesan Cinta dari Ayah

176 12 8
                                    


Pesan Cinta Ayah

Kilasan belajar bersama Raffi, Dino, Anggit dan Ihsan sore tadi masih terekam jelas di benak Ana, bahkan sampai saat ini ketika dirinya hanya berdua duduk bersama ayahnya. Ana tengah menungu pesanan sate ayam dan sate kambing di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari gerobak sate. Diliriknya melalui sudut mata, ayahnya masih sibuk mengetik pesan singkat pada ponsel layar sentuhnya. Sepertinya urusan kantor batin Ana. Tepat tiga menit yang lalu, saat Ana kembali masuk ke dalam mobil usai memesan sate, ayahnya sedang terlibat percakapan via telepon yang membahas masalah laporan akhir tahun. Entahlah Ana tidak berminat sedikit pun mengusik hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi dan akuntansi. Pusing.

"Yah." Ana memanggil ayahnya sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke arah kanan.

"Hmm." Hanya itu jawaban ayahnya.

Oke, ini artinya sebentar lagi.

Ana sangat hafal tipikal ayahnya. Pada kondisi tertentu ayahnya tidak dapat mengerjakan lebih dari satu pekerjaan sekaligus, sehingga Ana memutuskan untuk menunda obrolannya sementara. Toh sepertinya masih lama juga pesanan sate mereka akan datang, antriannya masih lumayan panjang. Sate di depan kompleks perumahan Ana memang juara. Jualannya sih pakai gerobak ala kaki lima, tapi rasa bintang lima, apalagi sate kambingnya. Malam ini Ana dimintai tolong oleh bundanya untuk membeli sate di depan kompleks karena bundanya tidak masak untuk makan malam.

Butuh waktu sekitar tiga menit lagi untuk menunggu ayah Ana menyelesaikan urusan dengan ponselnya hingga kini beralih fokus sepenuhnya pada Ana. "Kenapa Dek? Kamu tadi bilang apa?"

"Aku belum ngomong apa-apa, Ayah" jawab Ana yang tersenyum tipis.

"Emang ya? Maaf ya, ini di kantor Ayah lagi banyak kerjaan. Anak-anak lagi lembur sih, makanya Ayah dirusuhin nih."

"Ayah diminta lembur juga?"

"Engak lah. Mana mungkin, mana berani mereka nyuruh Ayah lembur. Haha."

Tahun depan adalah tahun terakhir ayah Ana bekerja karena usianya sudah masuk masa pensiun. Meskipun ayah Ana juga memegang peran penting dalam struktur kepemimpinan di perusahaan tempatnya bekerja, ia tidak melebarkan jarak kepemimpinan dengan para stafnya. Rata-rata usia para stafnya bahkan tidak jauh dari usia anak-anaknya. Bahkan di kantor, ia tidak lagi dipanggil bapak, namun Ayah Ammar. Nama lengkapnya Ammar Rahadianto.

"Yaudah dilanjut gih Dek, tadi mau cerita apa sama Ayah?"

"Sebenarnya sih nggak penting-penting banget, Yah. Tapi Ana pengin cerita aja. Jadi Dino sama Anggit kedatangan teman baru. Namanya Raffi, Yah." Dino dan Anggit sudah akrab di telinga ayah dan bundanya Ana, termasuk tiga kakak laki-lakinya. Dua bocah kecil itu sering menjadi cerita Ana terutama saat makan malam, sejak kedatangan mereka menjenguk Ana tempo hari.

"Nah tadi sore kan kami bahas tentang keseimbangan ekosistem ya Yah, tapi lama-lama pembahasannya melebar sampai akhirnya nyasar ngomongin cita-cita. Di antara mereka berempat, cita-cita Raffi ini Yah yang paling Ana suka."

"Emang cita-citanya apa?"

"Raffi punya dua cita-cita Yah. Cita-citanya pertama, ia ingin memberangkatkan orangtuanya pergi haji." Terlihat samar alis ayah Ana mengangkat naik, sesekali mengangguk. "Terus yang kedua, ia ingin membangun pesantren Yah, katanya supaya anak-anak punya tempat menghafal al-quran." Kali ini ayah Ana menyunggingkan senyumnya.

"Memang sudah seharusnya begitu Dek."

"Gitu gimana Yah?"

"Ya, maksudnya setiap anak memang harus dibesarkan dalam mimpi yang besar, seperti Raffi itu, supaya termotivasi menjadi orang besar. Eh tapi bukan besar badannya loh, tapi besar impiannya."

I Love the Little Things You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang