Tentang Perempuan

196 14 42
                                    



Tentang Perempuan

"Hai, ini namanya siapa?"

Ana mencondongkan tubuhnya pada meja kecil di depannya. Ia mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan pada gadis cilik yang sudah duduk manis bersila, tangannya mendekap al-quran, bersiap mengaji. Hari ini Ana dan ketiga kakak laki-lakinya mengunjungi sebuah yayasan yang pernah menjadi salah satu tempat penuh kenangan dalam hidup mereka. Sudah lama sekali mereka tidak mengunjungi tempat itu. Dulu semasa kecil, sebelum memasuki tingkat SMP lebih tepatnya, mereka sering bermain di yayasan tersebut, Yayasan Matahari. Usai pulang sekolah, mereka menyusul bundanya – Arin, salah satu pendiri dari Yayasan Matahari – untuk bermain dan belajar bersama dengan anak-anak yang ditampung oleh yayasan tersebut. Yayasan Matahari adalah produk dari kegiatan sekelompok mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial, yang menghimpun anak yatim piatu, anak jalanan, dan penyandang cacat.

"Dila, Kak" jawabnya dengan wajah malu-malu seraya mengambil tangan Ana lalu mencium punggung tangannya.

"Hai, Dila. Panggilya Kak Ana aja ya."

Dila, gadis kecil berkerudung hijau ini ditaksir Ana sekitar kelas 4-5 SD. Wajahnya bulat, pipinya sedikit berisi, berkulit putih, dan bulu matanya lentik. Lucu sekali. Sore ini Ana dimintai tolong oleh salah satu pengurus yayasan untuk membimbing anak-anak di salah satu kamar untuk belajar mengaji. Satu per satu anak-anak mengaji secara bergiliran, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Tidak semua anak sudah bisa membaca al-quran, beberapa di antaranya masih menggunakan buku iqra. Kamar tersebut diisi oleh 12 anak perempuan yang berusia 8-16 tahun, dan Dila adalah yang terakhir mendapat giliran mengaji.

Usai menutup al-quran sekaligus tanda berakhir sesi mengaji, Dila belum menunjukkan tanda-tanda akan beranjak pergi. Wajahnya terlihat sendu mungkin karena banyak kesalahan saat mengaji barusan. Kalau tidak salah tebak sepertinya sebentar lagi Dila akan menyampaikan sesuatu.

"Teman-teman Dila yang sama-sama kelas 5 banyak yang udah lancar baca al-qurannya. Malah udah banyak yang hafalannya banyak. Dila nggak lancar-lancar baca al-qurannya. Susah." Bibir Dila mengerucut maju ke depan, imut.

Ana tersenyum senang, senang karena tebakannya benar dan senang karena masih ada anak yang merasa sedih karena sulit membaca al-quran. Banyak bukan anak-anak yang cuek dan tidak peduli jikalau tidak bisa membaca al-quran. Bagi mereka lebih penting cakap melafalkan bahasa asing dibanding melafalkan al-quran.

"Jangan maju-maju gitu Dil bibirnya, nanti kamu makin imut hehe" Ana terkekeh geli. "Kalau orang yang lancar membaca al-quran kata Rasulullah sallahu 'alaihi wassalam, akan bersama para malaikat yang mulia yang selalu senantiasa taat pada Allah. Tapi yang membaca al-quran masih terbata-bata dan sepertinya sulit dalam membacanya akan diberikan dua pahala baginya."

"Berarti aku dapat dua pahala gitu Kak?"

Ana mengangguk setuju. "Karena Dila membaca al-quran dan belajar membaca al-quran. Allah menghargai Dila dengan dua pahala. Baik kan Allah?"

"Waaaaaa." Wajah takjub Dila ternyata tak kalah lucu.


***


Keluar dari kamar tidur Dila, Ana bergegas mencari kakaknya di ruang utama yayasan, semacam aula yang biasa dipakai kegiatan bersama anak-anak. Namun baru saja Ana melewati dua kamar, dirinya sudah disambut histeris oleh gadis remaja berpakaian serba biru tanpa jilbab yang menutupi rambutnya. Area ini masih area girls only, jadi tidak akan ada laki-laki yang masuk dan semua perempuan aman berkeliaran tanpa jilbab.

I Love the Little Things You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang