two

417 37 2
                                    

Sudah lebih dari 10 menit surai coklat itu terus menatapku tajam. Sementara aku melihat kearah lain karena tidak tahan dipandangi bagai orang tidak waras yang baru saja melakukan hal aneh.

"Terus?" si pemilik surai coklat, Choi Seungcheol memecah keheningan.

Aku menghela nafas. "Aku kesal sekali waktu itu, oke? Jadi aku mengiyakan dan pergi dari sana"

"Kau tau istilah 'pikir dulu sebelum bertindak'? Kau malah membuat suasana makin berat, kan"

Aku memutar wajahku. "Ya, aku memang bodoh waktu itu. Mau apalagi?"

Seungcheol menepuk dahinya pelan. Ia nampak kewalahan menghadapi sikapku yang kian menyebalkan.

"Berhentilah bernada kasar saat bicara. Kau tidak seperti dirimu lagi! Kemana Hong Jisoo yang dulu kalem?"

Aku terdiam namun sorot mataku menantang. Saat seperti ini, Seungcheol seperti ayah yang sibuk menasehati anaknya.

Tapi aku tidak butuh nasehat.

"Yah nampaknya kau tidak setega itu membuang gitar dan fotonya"

Aku menggeleng pelan. Mana mungkin aku menyingkirkannya? Menyentuhnya saja aku tak mampu.

Aku ingat saat sebulan sebelum ulang tahunku yang ke-20, gitar lamaku rusak dan aku setengah bercanda bilang kepadanya kalau aku ingin membeli gitar baru.

Dan ternyata dia benar-benar menghadiahkan gitar untukku. Meski dia tau aku bisa membelinya dengan uang sendiri.

Lalu foto itu. Foto yang terbingkai manis diatas meja kecil disamping ranjangku. Diambil saat aku dan dirinya mengunjungi Los Angeles untuk liburan dua minggu setelah kami resmi menjadi sepasang kekasih.

"Lalu bagaimana dengan acara kita Minggu nanti? Kau siap bertemu dengan Jeonghan lagi?"

Aku mengatupkan bibirku, tidak tau harus menjawab apa.


silenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang