"jadi sebenarnya..."
Aku menahan napas mendengarnya. Apakah dia serius akan mengatakannya?
"...Jisoo sedang gak enak badan jadi dia pikir aku tidak boleh dekat-dekat dengannya dulu" Jeonghan tersenyum lebar tidak memperdulikan ekspresiku yang campur aduk.
"Serius?" Soonyoung berkomentar. "Wah hyung nampaknya kau lebih memilih menyelamatkan Jeonghan-hyung daripada nasib kami"
Aura serius yang sempat menguar tergantikan dengan obrolan santai. Seungcheol menepuk bahuku pelan dan segera bergabung bersama Jihoon untuk menenangkan Soonyoung yang sekarang tengah berjoged riang.
Dan aku tidak tau harus berterima kasih atau kesal karena ia telah menyelamatkan situasi sekaligus berbohong pada mereka.
Setelahnya aku berusaha mengobrol dengan Jeonghan meski bisa dibilang aku hanya nimbrung obrolannya dengan Seungcheol.
Setelah mengisi perut, kami pun melanjutkan pergi ke karaoke sampai jam menunjukan pukul 5 sore dan sehabisnya kami pun berpisah menuju rumah masing-masing.
Aku berjalan bersama Jeonghan karena rumah kami bisa dibilang berdekatan.
Selama beberapa saat kami hanya diam dan menatap lurus kearah jalan yang berbatu atau sesekali mengecek ponsel.
"Hei" entah apa yang mendorongku untuk membuka mulut. Mungkin aku sudah lelah dengan ajang diam-diaman ini.
"Hm?" gumamnya tanpa menatapku.
"Soal tadi..aku-" ah sial tenggorokanku tercekat.
"Lain waktu aku akan memberi tau mereka kalau kita sudah berakhir. Kau tenang saja" sahut Jeonghan datar.
Aku berhenti berjalan. Bukan itu yang ingin kusinggung.
Jeonghan ikut menghentikan langkahnya beberapa meter dari tempatku terpaku. Ia memutar tubuhnya dan menatapku tajam. "hei, udaranya dingin lho..kenapa berhenti?"
"...aku selalu berpikir kenapa kita harus berakhir seperti ini" gumamku pelan seraya menundukkan kepala. Pemuda didepanku sepertinya bisa membaca gerakan bibirku karena ia langsung menghela napas panjang dan menghampiriku.
"Dengar, Soo. Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi. Aku mohon mengertilah" Jeonghan meletakan tangannya diatas bahuku. "Aku sudah pernah bilang kan, aku juga tidak mau hubungan ini berakhir tapi..semuanya sudah berubah dan perasaanku padamu telah berganti, dan aku telah menemukan seseorang yang mengisi hatiku"
Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak memperlihatkan air mata dan hasilnya aku malah seperti orang yang tercekik. Aku menepis pelan tangan di bahuku. Tangan yang dulu selalu kugenggam erat seakan takut terlepas. Dan ketakutan itu telah menjadi nyata.
"Mianhae, Jeonghan-ah. Aku boleh duluan? Sekarang sudah larut dan aku ingin cepat sampai di rumah" Aku memaksakan seulas senyum dan setelah beberapa detik, pemuda didepanku menyingkir perlahan. Aku segera melangkahkan kaki sekaligus merutuki jalanan berbatu yang menghambat langkahku.
Sesampainya di rumah, aku langsung berlari ke kamarku dan mengunci pintunya. Aku menumpahkan segala emosiku dengan mengacak-ngacak dan membanting segala benda yang ada disana. Termasuk gitar pemberiannya. Aku berteriak sekeras mungkin sampai tenggorokanku sakit.
10 menit kemudian, aku menemukan diriku terbaring di lantai dan dikelilingi serpihan maupun pecahan kaca. Rasa perih kian menusuk di telapak kakiku yang ternyata mengucurkan darah. Aku menutupi wajahku dan menangis sejadinya.
"Haha, kau bohong kan, Jeonghan-ah?" gumamku parau. "Kau bilang kau juga sedih tapi kau nampak bahagia seakan-akan kita tidak pernah ada hubungan"
Malam itu kuhabiskan dengan menatap langit-langit kanarku, dan saat sadar, satu malam lagi aku gagal untuk tidur.