eight

140 20 1
                                    

"Lho, Cheol-ah? Dan...Jisoo-ya?" Jeonghan menyadari keberadaan kami. Aku mengumpat didalam hati, kenapa kami tidak kabur malah mematung disini.

"Oh, eh, annyeong" Seungcheol pulih dari keterkejutannya. Aku hanya mengangguk perlahan.

"Tumben, kalian kesini?" Jeonghan nampak lebih ceria dari sebelum-sebelumnya.

"Iya haha, anak ini sudah terlalu lama didalam gua, jadi aku sedang dalam proses memanusiakan dia" celoteh sahabatku itu, membuat wajahku memerah malu.

"Yang benar?" tawa Jeonghan. "Aish, pergilah menikmati hidup sekali-sekali, Jisoo-ya"

"Oh ya, omong-omong, ini siapa?" Seungcheol berusaha bersikap ramah.

"Ah hampir lupa. Kenalkan, ini Kim Seok Hyun-ssi" ada nada kebanggaan saat ia mengenalkan pria ini pada kami.

"Aku, Choi Seungcheol, salam kenal Hyun-ssi" Sahabatku itu menundukan kepala tanda hormat.

"Salam kenal, aku Hong Jisoo" sambungku datar dengan gerak tubuh sama.

"Salam kenal juga, kalian seumuran dengan Jeonghan?" tanya pria itu sambil tersenyum.

"Ya begitulah, aku dan Jisoo bersahabat dengannya sejak bangku sekolah" Seungcheol diam-diam menyikut lenganku. Sepertinya ia sadar kalau aku sedari tadi mengeluarkan aura tidak bersahabat.

"Oh begitu, terima kasih telah menjaganya ya"

"eh, tidak apa-apa kok" Seungcheol mendadak salah tingkah. Wajar saja, pria itu nampak jauh lebih tua dari pada kami, bahkan harusnya ia kami panggil ahjussi?

"Jeonghan-ah, kau mau mengobrol dulu dengan teman-temanmu?" ujar pria itu ramah.

"Tidak, nanti kalau sempat, aku akan berkunjung ke rumah mereka saja" ucap Jeonghan. "Kami duluan ya, Cheol-ah, Jisoo-ya"

Sepeninggal mereka, Seungcheol menepuk kedua bahuku dengan tatapan tajam dan aku baru sadar kalau sedari tadi aku mengepalkan tanganku sampai buku-buku jariku memutih.

"Kita pergi dari sini?" tanya pemuda bersurai hitam itu. Ia tidak dapat menyembunyikan ekspresi takutnya. Mungkin ia ngeri kalau aku akan bertindak gegabah seperti mengejar pria itu dan menghajarnya lalu berakhir di kantor polisi.

"Oke" aku menjawab namun terdengar seperti gumaman. Untunglah sahabatku itu bisa membaca gerak bibirku, jadi dia menarikku pergi dari tempat itu.

Sesampainya di rumah, aku segera naik ke kamarku diikuti Seungcheol dan berbaring di atas kasur. Ruangan itu sudah bersih dan terasa kosong karena setengah isinya telah rusak dan tidak dapat diselamatkan lagi.

Gitar hadiah pemberian Jeonghan masih berdiri manis dibawah jendela kamar, padahal aku ingat membantingnya beberapa kali tapi ternyata benda itu tidak rusakㅡhanya dua-tiga senarnya saja yang putus.

"Kau tidak membuangnya?" aku menunjuk gitar itu.

"Masa dibuang? Sayang kan, lagipula masih bisa diperbaiki" sahut Seungcheol yang duduk di kursi meja belajarku.

"Maaf, Jisoo..kalau saja aku tadi langsung mengajakmu pergi"

"Gwenchana" jawabku. "Setidaknya aku tau kenapa dia lebih bahagia. Ya, pria itu sepertinya baik dan...bisa membahagiakan dirinya ketimbang diriku ini"

"Soo..."

"Maaf, bisa kau tinggalkan aku dulu?"

Seungcheol terdiam sesaat dan berjalan keluar kamar. "Panggil aku kalau kau butuh sesuatu"

Aku tidak membalasnya karena aku sudah menutupi wajahku dengan selimut dan kembali menangis kencang.

silenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang