Pesta pernikahan itu berlangsung sebagaimana yang telah direncanakan. Mewah dan meriah. Senyuman manis terpancar dari wajah pasangan pengantin, meski sebenarnya hati keduanya tidak sejalan dengan senyuman itu. Karena pernikahan ini hanya untuk memenuhi keinginan orang tua si pengantin pria.
Alleiya, sang pengantin wanita bahkan sudah merasakan wajahnya berkedut pegal, menahan senyuman. Tapi ia tetap bertahan setidaknya hingga dua jam ke depan, dimana pesta ini akan berakhir.
Diliriknya Bastian yang masih setia di sebelah kanannya. Sama sepertinya, pria yang kini menjadi suaminya itu juga mencoba bertahan.
"Ada apa?" Ternyata Bastian menyadarinya.
Alleiya menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," balasnya singkat. Keadaan kembali hening di antara mereka.
Pandangan Alleiya mengitari seluruh ruangan. Mencari-cari keberadaan seseorang. Sejak pagi, ia sama sekali tidak melihatnya. Adi. Pacar terakhirnya, sebelum berujung pada pernikahan yang tak diinginkannya ini.
Tapi sepertinya pria itu tidak akan datang, sampai kapanpun. Bagaimana mungkin ia bisa menyaksikan gadis yang begitu dicintainya bersanding di pelaminan dengan pria lain, yang bahkan dia anggap sebagai sahabat dan adiknya sendiri.
Alleiya tertunduk menyadari hal itu. Ia bahkan sangat menyesal telah menerima pernikahan ini. Sekarang ia berakhir dengan pria lain dan tentu saja menyakiti pria yang dicintainya.
"Maaf kalau hal ini membuatmu menyesal." Lagi, Bastian mengetahui gelagat Alleiya.
Ia menoleh cepat ke arah Bastian. "Apa maksudmu?" tanyanya.
Pria itu menghela nafas. "Aku tau kamu menyesal untuk semua ini. Tapi aku akan berusaha melakukan yang terbaik."
"Kamu senang sekarang?" Nada suara Alleiya naik, namun tetap menjaganya agar tidak terdengar tamu.
"Al, aku memang pernah memimpikan kita berada di tempat ini, tapi bukan dengan cara seperti ini. Aku menginginkan hal itu terjadi atas usahaku sendiri dan atas dasar cinta di antara kita."
Alleiya membuang pandangannya sembarang. Ia memang tau hal ini sejak dulu. Bahkan pria ini sudah pernah menyatakan hal itu sebelumnya. Hanya saja, seluruh hatinya sudah menjadi milik Adi. Ia tidak bisa menerimanya. Ia juga bukan gadis serakah.
"Aku janji akan melakukan yang terbaik," ulang Bastian. "Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku. Bukankah cinta itu tumbuh karena kebiasaan?" lanjutnya.
Tidak ada balasan apapun dari Alleiya. Menoleh pun tidak. Pikirannya bahkan kembali dipenuhi oleh pria yang telah membuatnya bahagia beberapa tahun terakhir.
Sedikit penyesalan muncul, karena saat Adi mengajaknya menikah tahun lalu ia belum siap. Kalau saja mereka sudah menikah, tidak akan mungkin orang tua Bastian memintanya menjadi menantu mereka. Penyesalan memang selalu datang dia akhir.
Acara telah selesai. Pasangan pengantin bahkan sudah kembali ke rumah. Lebih tepatnya rumah orang tua Bastian. Mereka memang belum menyiapkan rumah baru, dan mungkin tidak akan pindah dari rumah ini. Kedua orang tua itu sudah berada di usia senja, dan mereka butuh anak tunggalnya untuk mengurus masa tuanya.
"Kalian berdua istirahatlah. Hari ini pasti melelahkan," kata Tania, ibu Bastian.
"Ibu juga harus istirahat. Ibu tidak kalah lelah dibanding kami. Apalagi di usia ibu yang sekarang," balas Alleiya.
Tania tersenyum. Tangannya terulur untuk mengelus pipi Alleiya yang belum dibersihkan dari make up. "Tidak salah kami memilihmu sebagai menantu. Dengan begitu, kami bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang. Kami sudah menemukan pendamping yang tepat untuk anak kami," katanya.