Alleiya duduk diam di atas kasurnya. Tidak ada semangat untuk menjalani hari ini. Ditatapnya bagian kasur yang kosong. Biasanya Bastian ada di sana. Tapi sudah seminggu ini, tempat itu kosong. Ia hanya sendirian mengisi ruangan ini. Oh, ada bayinya yang masih dalam kandungannya.
Meski belum berhasil merebut hatinya, tapi ada sesuatu yang kosong dalam diri Alleiya. Itu tentang Bastian. Ia kehilangan. Ya, ia kehilangan Bastian.
Ada sederet kebiasaan Bastian yang membuat dirinya tak bisa lupa. Perhatian pria itu untuknya juga luar biasa. Ia tidak bohong kalau Bastian mampu membahagiakannya selama beberapa bulan kebersamaan mereka membina rumah tangga. Ia tidak dibiarkan kekurangan apapun oleh Bastian.
"Al," panggil ibunya dari depan pintu. Shania -ibu kandung Alleiya- yang tinggal di luar kota, ada di sini sejak hari dimana Bastian dimakamkan. Bersama dengan Aditya -abang Alleiya- dan Aisya -adik Alleiya. Kebetulan gadis itu sedang libur kuliah.
Tidak ada balasan dari dalam. Tapi Shania memilih untuk masuk. Seminggu ini Alleiya memang hanya mengurung diri di dalam kamar. Makan dan segala keperluannya akan diantarkan oleh ibu atau adiknya ke kamar. Pekerjaannya pun sama sekali tak dipedulikan.
Jangankan pekerjaan, dirinya sendiri pun terlihat begitu menyeramkan. Tubuh yang semakin kurus dan pucat. Beruntung keluarganya ada di sini dan bisa mengurusnya.
Shania duduk di sebelah Alleiya. Dielusnya rambut Alleiya lembut. "Al, jangan seperti ini terus, nak. Kamu masih punya masa depan yang panjang. Hidup kamu tidak berakhir di sini hanya karena Bastian meninggalkanmu. Di atas sana, dia juga pasti sedih melihat kamu seperti ini. Tapi dia tidak bisa menolak saat Yang Kuasa menjemputnya. Ibu yakin kalau sebenarnya dia juga sangat ingin menemanimu sampai masa tua. Bangkitlah, sayang. Jangan larut dalam kesedihan terus."
Alleiya bergeming.
"Ibu juga tau bagaimana rasanya kehilangan suami yang kita cintai. Ibu sudah lebih dulu merasakannya, Al. Sedih bisa, tapi jangan berlarut-larut dalam kesedihan."
Ayah Alleiya meninggal tiga tahun yang lalu. Bukan karena kecelakaan seperti yang terjadi pada Bastian, namun karena sakit jantung yang sudah lama dideritanya.
Mereka bahkan harus kehilangan hampir semua harta benda demi kesehatan ayahnya. Namun ternyata semua sia-sia. Harus berujung pada perpisahan juga.
"Anak kamu juga sangat butuh dirimu, sayang. Kalau kamu seperti ini, pengaruhnya sangat tidak baik untuk bayimu." Shania terus menghibur.
Mereka tetap di sini untuk menyemangati Alleiya kembali. Tidak tega jika harus meninggalkan Alleiya seperti itu, bersama kedua mertuanya yang juga sangat kehilangan.
"Kakak sarapan dulu, ya." Aisya datang membawakan nampan berisi sarapan untuk Alleiya.
Tidak ada penolakan dari Alleiya saat adiknya menyuapkan sarapan untuknya. Ia menelannya perlahan, demi memenuhi kebutuhan si jabang bayi dalam kandungannya.
Keadaan berangsur pulih saat Alleiya kembali menemukan semangat hidupnya. Seperti apa yang ibunya katakan, masih banyak yang sayang padanya. Beberapa kali Adi juga menyemangatinya tanpa beban. Kehadiran pria itu seolah menggantikan posisi Bastian.
"Di, tante ada permintaan." Tania membuka pembicaraan saat Adi berkunjung ke rumahnya. Hal ini sering dia lakukan demi memastikan keadaan keluarga ini baik-baik saja. Terlebih setelah keluarga Alleiya kembali ke kotanya.
Adi menatap was-was pada wanita yang dia hormati seperti ibunya sendiri.
"Tapi sebelumnya, apa kamu memiliki seorang gadis yang kamu suka?"
"Apa maksud ibu?" Daniel yang menimpali. Ia juga belum tau apa yang sedang ingin diajukan oleh istrinya itu.
"Apakah ada?" Tania mengulang lagi karena Adi belum memberikan jawabannya.