Hal pertama yang dilakukan Alleiya adalah mengganti nama kontak Adi. Ia tidak akan bisa move on jika tidak melakukannya. Kemudian berpikir kembali, haruskah ia membalas pesan itu atau tidak.
Alleiya : Terima kasih. Dan maaf untuk segalanya.
Akhirnya ia membalas, setelah mendengar saran dari Mesri. Diletakkan kembali ponselnya di meja.
"Al," panggil Mesri.
Alleiya menoleh temannya. Tidak menjawab, namun dari wajahnya saja Mesri sudah bisa menebak kalimat apa yang tersirat dari tatapannya.
"Kamu masih berhubungan sama bang Adi?" Mesri memang cukup mengenal sosok pria bernama Adi itu.
Alleiya hanya menggeleng pelan dan menunduk. Memang tidak ada kata putus dalam hubungannya dengan Adi. Tapi, bukankah dengan semua yang terjadi saat ini maka hubungan mereka akan berakhir?
"Tapi kamu masih mencintainya?" Mesri menyipitkan mata.
Segera Alleiya membalas tatapan tajam temannya itu. "Bagaimanapun juga, tidak ada urusan di antara kami lagi."
"Mulut memang bisa berkata seperti itu, Al. Tapi tidak dengan hatimu, kan?" Pertanyaan Mesri semakin memojokkannya.
"Mes, tolong lupakan saja. Aku akan menjalani hidupku yang sekarang."
"Aku tau, Al. Hanya saja, sebagai seorang teman aku tidak bisa mengabaikannya, Al."
Alleiya memaksakan senyumnya. "Aku baik-baik saja, Mes."
"Aku tidak percaya." Mesri masih mengotot pada pendiriannya. Tapi tidak melanjutkan pembicaraan karena ia langsung beralih pada layar komputernya. Melanjutkan pekerjaan.
Alleiya menghela nafas. Akan sangat sulit baginya menjalankan semua ini, jika di segala tempat selalu ada yang mengingatkannya akan Adi.
Satu hal yang terlupa. Setiap pagi ia bahkan harus melihat sosok itu, yang ia yakini sudah kembali dari luar kota.
Menjelang sore, Bastian sudah menampakkan batang hidungnya di depan kantor Alleiya. Bahkan tanpa mengabari istrinya itu lebih dulu.
"Al, sudah dijemput tuh."
Alleiya mengalihkan pandangannya ke luar ruangan yang berdinding kaca. Benar saja kata Mesri, suaminya sudah ada di sana. Dilihatnya jam tangan, masih setengah jam lagi hingga jam kerjanya berakhir. Ia tidak bisa pergi begitu saja dan meninggalkan tugasnya.
Alleiya bernafas lega saat jarum gendut jam mengarah ke angka lima. Ia segera membereskan mejanya, dan bergegas menghampiri Bastian yang terlihat mulai bosan.
"Kenapa datangnya cepat sekali?"
Bastian tersenyum. "Aku hanya memastikan kalau kamu tidak kabur, Al."
Alleiya mendengus. Alasan klasik, batinnya.
"Ayo pulang. Ayah bisa marah kalau aku meninggalkanmu." Disodorkannya helm pada Alleiya.
Tanpa menjawab, Alleiya menerima dan mengenakannya. Kemudian menaiki motor Bastian. Meski tidak nyaman untuk memeluk perut Bastian, ia harus melakukannya jika tidak ingin terjatuh.
Bastian tersenyum dibalik helmnya saat merasakan tangan itu melingkari perutnya. Tanpa menunggu lama, ia mulai melajukan motor. Tak lupa membunyikan klakson saat melewati Mesri yang masih merapikan tasnya di bagasi motor miliknya.
Menjalani kehidupan rumah tangga memang cukup melelahkan. Terlebih karena Alleiya juga harus mengurus kedua mertuanya. Jika sebelumnya ia terbiasa membeli makan malam di luar, kini ia harus memasaknya sendiri di rumah. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mereka berempat. Cukup menguras tenaganya yang sudah lelah dari kantor.