Alleiya - 5

331 33 1
                                    

Perjalanan hidup memang tidak selalu lurus, dan perjalanan cintapun tidak selalu mudah.

Adi dan Alleiya pada akhirnya akan bersatu juga, namun harus melalui satu titik yang disebut perpisahan. Kehadiran Bastian dalam hubungan mereka nyatanya tidak membuat keduanya terpisah untuk selamanya. Seolah Bastian hanya persinggahan sesaat ketika mereka lelah.

Pernikahan itu dilangsungkan sekedarnya saja. Sekedar menyatakan pada semua orang bahwa Alleiya dan Adi adalah sepasang suami istri. Sah secara hukum dan agama. Hanya meresmikan hubungan itu. Tamu yang diundang pun tidak terlalu banyak. Hanya keluarga dan teman dekat.

Keputusan itu awalnya sangat dipertanyakan oleh semua keluarga, termasuk keluarga Alleiya. Tapi jika memang hal ini untuk kebaikan Alleiya dan bayinya, mereka tak menolak. Seperti yang pernah Adi sampaikan, Alleiya pasti akan sangat membutuhkan seorang suami saat harinya nanti tiba untuk melahirkan.

Wanita itu kini sedang duduk di kursi pelaminan. Usia kandungannya yang memasuki enam bulan membuatnya mudah lelah. Berdiri selama satu jam cukup menguras tenaganya.

"Kamu cape?"

Alleiya mengangguki pertanyaan Adi. Memang benar dia sedang kelelahan.

"Mau istirahat dulu?"

Alleiya memaksakan senyumnya. "Tidak usah. Aku masih kuat. Lagipula bagaimana mungkin pengantin bisa meninggalkan pelaminan?"

Adi meraih tangan Alleiya, menggenggamnya lembut. "Hei, acara ini kita yang buat. Kita yang berhak di sini, sekalipun untuk menghentikan acara sampai di sini."

"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Ayah dan ibu sudah cape menyusun acara, tidak baik jika kita hentikan sebelum selesai."

"Tapi semua demi kebaikan kamu juga."

"Aku sudah bilang, aku baik-baik saja, bang."

"Baiklah. Dia juga tidak apa-apa kan?" Adi kini beralih mengelus perut buncit Alleiya. Alleiya mengangguk, mengiyakan kalau kandungannya juga baik-baik saja. Sejak pagi, anak dalam rahimnya memang anteng sekali, tidak sekalipun berbuat ulah yang menyusahkan ibunya. Seolah mengerti keadaan yang terjadi sekarang ini.

"Kalau ada apa-apa, atau butuh sesuatu jangan sungkan meminta padaku. Kamu bahkan sudah sangat nyaman dengan hal itu beberapa bulan yang lalu."

Alleiya menunduk, lalu mengangguk malu. Selama menjalin hubungan dengan pria itu, ia memang tidak pernah sungkan meminta apapun. Sekalipun itu adalah yang sangat pribadi. Baginya, Adi bukan hanya sekedar pacar saja. Adi adalah teman, sahabat, kakak, bahkan orang yang dia tuakan.

Berakhirnya acara membuat Alleiya menarik nafas lega. Siksaan tidak langsung itu berakhir sudah. Adi yang menangkap ekspresi itu hanya bisa mengulum senyumnya. Sebenarnya ia juga tidak tega jika harus menahan Alleiya berada di pelaminan sepanjang hari. Hanya saja wanita itu juga tidak mau meninggalkan singgasananya walau hanya sesaat.

"Apa yang lucu?" Ternyata Alleiya juga mengetahui senyum geli Adi.

"Tidak ada. Hanya saja wajahmu terlihat menggemaskan tadi."

Alleiya merengut.

Adi merangkul pinggang istrinya. Menuntun wanita itu dengan hati-hati. "Jangan cemberut begitu. Tidak cocok untukmu."

Alleiya malah memukul perut pria di sebelahnya. Pukulan ringan oleh tangan mungilnya. Tapi ia tersenyum juga. Merapalkan doa dalam hatinya, semoga apa yang dia dan Adi bina akan bertahan lama.

Ia bukan takut akan masalah yang harus mereka hadapi. Ia hanya takut kalau salah satu ataupun mereka berdua harus terpisah oleh maut secepat yang pernah ia alami sebelumnya.

Alleiya (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang