Alleiya - 3

337 33 1
                                    

Sepulangnya Alleiya dari rumah sakit, semua kembali normal. Berjalan seperti biasanya. Ia hanya diminta bed rest selama dua hari. Dan kini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Kedua mertuanya pun terlihat jauh lebih sehat dan bugar sekarang. Kehadiran dirinya ternyata benar-benar mampu mengembalikan semangat hidup mereka. Terlebih karena Alleiya memang selalu memperhatikan kesehatan keduanya.

Akhir pekan ini adalah jadwal Alleiya untuk periksa kandungan ke dokter. Usianya sudah tiga bulan sekarang. Sengaja memilih akhir pekan supaya tidak mengganggu pekerjaan mereka.

Semua terasa melegakan saat mendengar kondisi kandungannya sangat baik. Si jabang bayi tumbuh sehat dan kuat, demikian juga dengan ibunya yang semakin hari terlihat semakin sehat. Alleiya tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Sejauh ini ia berhasil menjaga calon anaknya dengan baik. Jauh dalam hatinya berharap kalau semuanya akan berjalan dengan baik, sesuai dengan rencana sampai pada hari ia akan melihat bayinya lahir ke dunia.

Mereka masih menyempatkan diri untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga, termasuk susu untuk Alleiya. Bukan sekedar wacana, tapi wanita itu benar-benar menjaga kesehatan juga asupan gizi untuk tubuhnya dan calon bayinya.

"Bagaimana kata dokter?" Mereka langsung disambut pertanyaan itu setibanya di rumah. Siapa lagi kalau bukan Tania dan Daniel.

"Baik-baik saja, bu. Mereka sangat sehat," jawab Bastian.

"Oh, syukurlah." Tania mendesah lega. Daniel yang memang tidak banyak bicara juga terlihat sama. Siapa yang tidak lega jika kabar cucu yang sangat dinantikannya sangat baik. Demikianlah mereka.

"Jadi kamu jangan pernah mengabaikan kesehatan istrimu, Bas. Ibu hamil itu sangat butuh perhatian dari suaminya. Bahkan jika Alleiya tidak minta, kamu harusnya bisa peka." Ibu Bastian menasehatinya.

"Sama seperti ibumu saat mengandung dirimu dulu," sambung Daniel.

"Iya, aku tau, bu." Bastian hanya bisa mengiyakan. Lagipula, tanpa diingatkan oleh ibunya pun dia akan melakukan demikian. Hanya saja, Alleiya yang memiliki tipikal mandiri seringkali mencari sendiri apa yang dia inginkan tanpa memberitahu suaminya. Karena itulah memang Bastian harus lebih peka.

"Sayang, aku harus keluar bentar. Temanku ingin membicarakan masalah pekerjaan," kata Bastian suatu pagi. Dirinya sudah mulai membiasakan diri menyebutkan panggilan itu meski tidak berbalas.

Hari ini memang hari libur. Entah kenapa teman Bastian itu harus membicarakan pekerjaan di hari libur.

"Memangnya harus sekarang, ya?"

Bastian menghentikan tangannya yang akan mengenakan jaket karena cuaca di luar sedang dingin. Langkah kakinya mendekati Alleiya yang duduk di tepi kasur. "Hanya sebentar. Aku akan segera kembali," jawabnya. Dia bisa menangkap dari nada suara Alleiya tadi kalau istrinya itu sedang ingin ditemani olehnya.

"Ini kan hari libur," lanjut Alleiya.

"Maaf. Hanya sebentar. Aku janji." Dikecupnya kening Alleiya. Mengenakan jaket yang sebelumnya sempat tertunda.

Ada perasaan tidak enak saat membiarkan Bastian pergi. Entahlah. Mungkin si calon bayi yang sedang ingin berada di dekat ayahnya.

Alleiya memilih merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengambil ponsel pintarnya kemudian memainkan sebuah permainan yang dianggapnya bisa mengusir kebosanan.

Entah berapa lama ia memainkan ponsel, benda itu berdering karena panggilan masuk yang berasal dari nomor suaminya. Jantungnya berdebar entah karena apa. Dia merubah posisinya menjadi duduk dan berdehem pelan untuk membuang serak.

"Halo, Bas?"

Debar jantungnya semakin tidak karuan saat suara yang membalasnya bukan suara si pemilik ponsel. Ia tidak tau itu siapa. "Benar ini Alleiya? Apa anda mengenal pemilik ponsel ini?"

"I-iya, saya istrinya." Suaranya bergetar hebat. Ketakutan menyelimuti dirinya. "Dimana suami saya?"

"Suami ibu mengalami kecelakaan..." Alleiya menegang. Ia tidak mendengar apa lanjutan dari kalimat itu.

"Bas..." Ia menangis. "BAS...!!!"

***

Saat tersadar kembali, Alleiya menemukan dirinya masih berada di kamarnya. Ditemani oleh Renata dan Divya -adik Adi. Ibu mertuanya menitipkan Alleiya pada tetangga dekatnya itu karena mereka masih harus menunggui Bastian di rumah sakit. Kebetulan Divya sedang ada di sana juga.

"Bas..." Ia menyebutkan nama itu lagi.

"Dia sedang berjuang untuk kalian," kata Renata mencoba menenangkan.

Tidak ada perlawanan dari Alleiya. Ia menangis dalam diam. Merutuki takdir yang ada untuk dirinya. Disaat dirinya sedang berusaha untuk menerima keberadaan Bastian dalam hidupnya, mengapa harus dihadapkan pada keadaan seperti ini? Ujian yang terlalu berat menurutnya.

Tanpa sadar ia mengusap perutnya yang mulai menampakkan bentuk. Seakan sedang bertanya pada janinnya.

"Kamu harus kuat, Al. Bastian juga pasti kuat, ia akan bertahan untuk kalian." Kali ini Divya yang menguatkan Alleiya.

"Aku harus menemuinya," pinta Alleiya kemudian.

Tidak ada bantahan yang mampu Renata dan Divya berikan. Meski keadaannya yang sedang hamil muda sekarang, mereka harus mengantarkan wanita itu ke rumah sakit. Mungkin saja Bastian juga membutuhkan kehadiran istrinya itu.

Di rumah sakit, kedua mertua Alleiya duduk di depan ruang rawat Bastian. Ternyata sedang ada Adi di dalam sana yang menjenguk. Alleiya memilih untuk menunggu sejenak.

"Kenapa harus seperti ini, Bas?" Suara Adi tertahan. Diamatinya tubuh kaku Bastian yang dipenuhi oleh alat bantu. "Apa karena kata-kataku tempo hari?"

Hening. Hanya terdengar bunyi yang menandakan kalau jantung Bastian masih berdenyut.

"Aku tidak meminta Alleiya kembali. Aku hanya mengingatkanmu untuk menjaganya lebih baik. Dia adalah seseorang yang berharga untukku. Dan kurasa untukmu juga demikian karena sekarang dialah yang mendampingimu. Tapi jika seperti ini, apa yang bisa kau lakukan?" Adi mengangkat wajahnya, menahan air mata yang hendak jatuh. Ia peduli dengan Bastian, sangat peduli. Kenyataan kalau gadis pujaannya sudah menjadi milik Bastian tak mengurangi rasa pedulinya, rasa sayang dari seorang abang terhadap seorang adik.

"Segeralah bangun. Alleiya pasti membutuhkanmu. Anakmu juga." Suaranya menghilang di akhir kalimat. Ia tak dapat lagi membendung kesedihannya.

Adi membuka pintu dan menemukan Alleiya bersama yang lainnya di sana. Alleiya segera bangkit dari duduknya, menerobos masuk tanpa mempedulikan hal lain. Ia hanya ingin melihat keadaan suaminya sekarang.

Langkahnya tertahan sebelum mendekati brangkar. Tubuhnya meluruh, yang segera ditahan oleh Divya yang ternyata mengikutinya. Tubuh itu tidak sampai mengenai lantai. Lalu dibantunya melangkah hingga duduk di kursi. Yang lainnya mengikuti dari belakang.

Alleiya tidak percaya apa yang dia lihat di depannya. Apakah separah ini?

"Bas..." Alleiya meraih tangan suaminya. Digenggam erat, berharap genggaman itu mampu memberikan kekuatan pada Bastian walau hanya sedikit. "Bangunlah..." Suaranya begitu lirih. Disertai isakan yang tak bisa dia tahan.

"Tadi kamu janji akan kembali secepatnya. Bukan seperti ini. Bangunlah, aku dan anak kita menunggumu."

Tania mendekati menantunya. Mengusap pundak Alleiya dengan begitu lembut. Mencoba memberikan ketenangan walau dirinya sendiri juga membutuhkan hal itu. Yang terbaring lemah di hadapan mereka itu adalah anak tunggalnya. Anak yang akhirnya dia peroleh setelah melewati masa sulit yang sangat panjang.

Tapi menghadapi situasi seperti sekarang ini butuh hati yang tenang. Berteriak tidak akan mengembalikan kesadaran Bastian.

Dengungan panjang dari monitor membuat semuanya terpaku. Menatap horor pada layar yang kini menampilkan garis lurus. Alleiya bahkan tak mampu lagi membendung emosinya. Menangis dan meraung seperti kerasukan. Berusaha meraih Bastian saat Divya dan Adi memaksanya keluar.

Adi ternyata masih berada di depan ruangan itu. Berusaha menenangkan diri. Ia segera masuk saat mendengar keributan dari dalam.

Takdir tak bisa dilawan, umur tak bisa ditebak. Semuanya berakhir saat dokter keluar. Bastian tak dapat diselamatkan. Tuhan telah mengambilnya kembali pada-Nya. Siapapun tak bisa menolak hal itu.

Tbc
Vote & comment

Alleiya (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang