Matahari telah tepat berada di atas kepala. Sinarnya yang tadi hangat sekarang sudah mulai terasa menyengat. Satriyo, remaja putus sekolah berumur delapan belas tahun itu sudah dua jam berjualan es cendol di pinggir jalan di bawah rindangnya pepohonan. Ia berhenti sekolah karena alasan mengalah demi adik adiknya. Sang bapak terserang stroke. Memaksa Satriyo mengikhlaskan sekolahnya demi membantu perekonomian keluarganya.
Siang ini dia sangat bersyukur sebab banyak pembeli yang berdatangan. Dari yang muda hingga dewasa. Yang sudah bekerja ataupun yang masih sekolah. Sepintas rasa iri terbesit di hatinya ketika melihat anak seusianya memakai seragam sekolah dengan menggendong tas. Namun Satriyo dengan cepat menepis rasa itu. Ia tak mau terus dihantui perasaan iri.
Pembeli mulai sepi. Satriyo duduk sambil mengusap keringat di dahi nya dengan handuk yang Ia kalungkan. Diangkatnya kaki kanannya di atas kursi sembari mengipas ngipaskan topinya.
"Alhamdulillahh. Alhamdulillah" ucapnya lirih.
Baru saja matanya akan memejam. Tiba tiba Satriyo melihat seorang perempuan berambut sebahu, memakai kemeja putih dan celana jeans hitam datang kerumah mewah di depannya. Itu adalah rumah Nyonya Anggun. Orang paling kaya di daerah itu. Hal yang membuat Satriyo penasaran adalah ketika satpam dengan kasar mendorong tubuh Perempuan tak dikenal itu hingga tersungkur di aspal.Beribu pertanyaan bermunculan di dalam benak Satriyo. Apalagi ketika perempuan itu tetap tak ingin beranjak dari depan pagar rumah Nyonya Anggun. Satriyo terus memandanginya, sebab wajah perempuan itu sangat mirip dengan Nyonya Anggun. Satriyo menduga bahwa perempuan itu adalah anaknya. Namun itu tidak mungkin. Nyonya Anggun hanya memiliki satu anak laki laki.
Setengah jam berlalu, pembeli es cendol milik Satriyo sudah pergi silih berganti. Namun perempuan itu tak juga lekas pergi. Awalnya Satriyo mengira bahwa perempuan itu hanyalah seorang sales. Namun melihat pendiriannya untuk tetap berdiri di depan pagar rumah Nyonya Anggun membuat Satriyo menyalahkan dugaannya sendiri.Perempuan itu kini penampilannya sudah lusuh. Lambutnya lepek bercampur keringat. Matanya sembab akibat terlalu lama menangis. Ia tak menghiraukan hiruk pikuk orang orang yang berjalan melewati nya sambil memandang aneh. Hingga pagar rumah itu terbuka. Sebuah sedan mewah keluar. Dengan langkah yang letih, perempuan tadi bergegas menghampiri. Diketuknya jendela mobil tersebut dengan air mata yang bercucuran semakin deras.
Satriyo berdiri dari duduknya. Ia berpura pura mengelap gelas sambil mengintip apa yang akan terjadi berikutnya. Satriyo sangat penasaran. Kini pengemudi sedan itu keluar menampakkan dirinya. Ya, tidak salah lagi Dia adalah Nyonya Anggun. Penampilan tak sesuai dengan usianya. Begitulah kata orang orang sekitar ketika menyindir Nyonya Anggun. Ia berumur 43 tahun. Namun sekarang Ia sedang mengenakan dress selutut, sepatu highheels, kacamata ala artis dan sebuah tas kulit berwarna merah. Warna rambut nya pirang dan bermodel keriting gantung. Lengkap sudah nyentrik nya.
Tetapi bukan penampilan Nyonya Anggun yang kini membuat Satriyo tercengang. Perempuan tak dikenal itulah yang menarik perhatiannya. Perempuan itu berlutut di kaki nyonya Anggun. Menangis dan terus menangis. Sedangkan Nyonya Anggun dengan wajah sombongnya tak sedikitpun menggubris. Hingga tak disangka dengan kasarnya Nyonya Anggun menendang perempuan tak dikenal itu. Malang sekali nasibnya.
Tanpa sedikitpun rasa iba, nyonya Anggun kembali ke dalam sedannya dan dengan segera melaju kembali. Perempuan malang tadi dengan langkah tertatih mencoba mengejar. Namun percuma, langkah kakinya kalah cepat dengan mesin sedan berharga mahal itu. Satriyo mengira perempuan itu akan pulang. Tapi nyatanya tidak. Perempuan itu kembali lagi ke tempatnya semula. Di depan pagar. Satriyo menggelengkan kepalanya tanda tak mengerti. Mengapa perempuan itu bisa sekuat ini? Apa alasan yang membuatnya sekeras kepala ini?
Tanpa banyak pikir Satriyo menghampiri perempuan tersebut. Ia mencoba menawarinya es cendol gratis. Satriyo tahu sedari tadi perempuan itu tak meneguk setetes air pun. Pasti perempuan itu sangat haus. Satriyo menghibur perempuan itu dengan hati hati. Ia takut kalau perempuan itu malah takut dan menyerang Satriyo. Satriyo tak kuat melihat perempuan itu menangis sedari tadi. Satriyo pun juga khawatir jika suatu hal buruk terjadi.
Lima belas menit kemudian perempuan itu pun berhenti menangis. Ia menoleh sebentar ke arah Satriyo yang ikut berdiri di sebelahnya lalu menyeberang jalan menuju gerobak es cendol milik Satriyo. Satriyo pun mengikutinya.
"Es cendol nya satu mas" ucap perempuan tak dikenal itu dengan suara parau.
"Ini mbak, es cendolnya. Monggo diminum" ujar Satriyo setelah selesai membuatkan segelas es cendol.
Satriyo duduk di sebelah perempuan itu. Ia sudah tak kuat lagi menahan rasa ingin tahu dengan apa yang terjadi siang tadi. Dilihatnya perempuan itu baik baik. Wajah nya sangat cantik, mirip sekali dengan Nyonya Anggun. Hanya saja sepertinya lebih kalem dan sabar dibandingkan Nyonya Anggun yang kasar. Setelah perempuan itu selesai menghabiskan es nya. Satriyo pun segera meluncurkan pertanyaannya dengan hati hati. Persis seperti seorang wartawan.
"Mbak kenapa kok daritadi nangis terus?"
Diam, perempuan tadi tak menjawab. Ia hanya memandang ke arah pagar rumah Nyonya Anggun. Satriyo merasa ia salah pertanyaan."Mbak kenal sama Nyonya Anggun?" Ujar Satriyo penuh harap agar pertanyannya dijawab.
"Iya, kenal" Deg, Satriyo sedikit terkejut dengan jawaban perempuan itu. Kini kalimat pertanyaan yang sedari tadi Ia pendam bagai terbang menghilang.
"Anggun itu Ibu Saya, Mas" Lanjut perempuan itu, membuat Satriyo semakin terkejut.
"Ta..tapi bukannya anaknya Nyonya Anggun cuma Mas Bimo yaa Mbak?" Jawab Satriyo hati hati."Dulu waktu Saya kelas tiga SD saya ditinggal di panti asuhan. Ibu bilang kalau Ibu bakalan jemput Saya. Tapi kenyataannya enggak sama sekali. Ibu memang tega membuang anaknya begitu saja ke panti asuhan hanya karena perekonomiannya sempat merosot. Lalu sekarang ketika Ibu sudah kaya raya Dia lupa sama Saya yang juga anaknya." Ujar perempuan tadi sambil menangis dan menunjukkan akta kelahiran nya. Satriyo bingung akan menjawab apa.
"Em... sabar ya mbak. Gitu itu kan masih Ibunya Mbak. Jadi, tetep doa yang terbaik ya Mbak buat Nyonya Anggun" Satriyo berkata sambil menahan air mata. Rasanya Ia ingin segera pulang dan memeluk ibunya dirumah. Satriyo sangat bersyukur walaupun Ia tidak bisa bersekolah dan hidup mewah tapi Ia masih memiliki Ibu yang baik dan penyayang.
Matahari perlahan pergi, meninggalkan jejak garis jingga yang menghiasi langit senja Kota Surabaya ini. Satriyo mengayuh gerobaknya pulang. Dan wanita itu tadi pun juga memutuskan untuk kembali ke rumahnya menggunakan jasa angkutan bemo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dee's Short Story
Short StoryDitulis karena hobi. Bukan hasil Copy Paste sana sini