"... Cause if one day you wake up and found that you missing me, and your heart start to wonder where on this earth i could be? Thinking maybe you'll comeback into the place that we meet. Can you see me waiting for you on the corner of the street?" [1]
Suara Azrya memporak-porandakan hatiku. Membangkitkan kembali kenangan yang dengan susah payah kupendam, kukubur jauh dalam hatiku.
Kebisingan yang diciptakan teman-temanku di ruangan temaram ini seakan terfilter oleh alunan suara Azrya, suara yang kurindukan. Kudekap kakiku, seakan menahan dinginnya AC, nyatanya aku menahan pilu yang menyayat hatiku. Pilu akan rasa rindu yang masih saja terasa linu di hatiku.
Inikah isi hatimu, Az? Aku ingin memercayainya. Nyatanya yang aku tahu saat ini, bukan lagi namaku yang terukir di sana. Kamu telah mengikrarkan janji baru dengan gadis Surabaya teman masa sekolahmu dulu. Mana bisa aku berani membandingkan diri dengan gadis berkulit putih dan rambut hitam sepinggang itu? Aku tak ada apa-apanya. Aku kalah telak. Jelas si calon bidan itu menang segalanya di atasku.
Lagi pula, aku masih punya malu. Aku masih cukup tahu diri. Aku yang memilih meninggalkanmu di saat kamu terpuruk, mencoba membalas apa yang kamu lakukan padaku lebih dulu. Padahal, dalam hatiku pun aku menangis saat melukaimu, saat melihatmu terjatuh sedalam itu.
Kualihkan pandanganku ke lantai beralas karpet ini. Entah sudah berapa kali aku mencoba berbicara dengannya lewat hatiku. Bodohnya aku, Azrya dan aku hanyalah manusia biasa. Kami tak punya telepati untuk bisa saling membaca pikiran dan isi hati masing-masing. Jika kami punya kekuatan seperti itu, tentu kami tak mungkin berpisah saat ini. Tak mungkin aku dan dia mengikrarkan janji dengan yang lain.
Aku ingin kembali padanya. Aku ingin berada lagi dalam dekapannya. Tapi untuk sekedar kembali menjadi temannya saja, dia menolakku. Dia enggan menatapku. Dia enggan berbicara denganku. Dia bahkan enggan untuk sekedar menyebut namaku.
Teman kami tak berhenti mencibir saat tahu Azrya memilih lagu ini untuk dinyanyikannya. Wajar saja, ada aku di sini. Lagu seperti itu bukankah menyiratkan seakan Azrya tak bisa berpaling dariku? Seakan Azrya masih menungguku? Ah, tapi aku saja yang terlalu percaya diri. Tak mungkin lagu itu untukku. Azrya mungkin hanya ingin mengolokku.
Aku beranjak dari dudukku dan melangkah keluar dari bilik karaoke tempat Azrya sedang melantunkan suara indahnya. Aku tak tahan berlama lagi di sana. Air mataku bisa tumpah tak terbendung. Rindu ini, cinta yang masih terpendam ini begitu berkecamuk di dadaku. Menyesakkan.
"Lu ga apa-apa?" Dewa menepuk bahuku pelan. Langkahku terhenti tepat di depan toilet. Mataku menatapnya nanar, lalu menggeleng lemah.
Dewa mengangkat wajahku dengan tangan besarnya. "Jangan nangis di sini. Nanti dilihat anak-anak. Gak enak."
Aku hanya tersenyum lalu melangkah masuk ke dalam toilet. Jika tak ada Dewa, aku tentu tak akan ikut malam ini. Terlalu berat menghadapi mereka seorang diri. Mereka memang teman-temanku, mereka memang masih bersikap seperti biasa padaku. Namun aku tahu, mereka memilih berada di sisi Azrya. Mereka memihak Azrya dan kisahnya. Tak sedikit pun mereka mencoba mengorek kisahku. Mereka hanya ingin percaya bahwa akulah yang melukai Azrya. Bahwa hanya akulah penyebab hancurnya kebersamaan kami. Bahwa akulah yang meninggalkan Azrya demi lelaki lain, dan untuk yang satu ini, memang itulah kenyataannya.
Kubasuh wajahku dengan air dingin yang mengalir deras dari keran di depan cermin besar ini. Kutatap lekat bayang wajahku di cermin. Hah, beraninya aku melukai Azrya, kekasih sekaligus teman sekelasku sendiri. Beraninya aku meninggalkan Azrya dan mengabaikan konsekuensi yang harus kutanggung. Beraninya aku membuat mereka terpaksa memilih akan berada di sisi siapa. Padahal aku tahu, aku tak akan mungkin jadi pilihan.
◆◆◆
Kubiarkan es krimku mencair tak kumakan. Aku sedang tak bernafsu. Rasa ingin kembali ada dalam pelukan Azrya menyeruak di hatiku dengan hebatnya. Rasanya seperti membakar dadaku. Panas. Rindu ini menyakitiku dengan hebatnya.
"Lu mau balikan sama Azrya?" tanya Dewa menyelidik.
"Ngga, Wa. Gue mah tahu diri aja," kuaduk malas es krimku yang penampilannya sudah tak menggugah selera.
"Ya elu juga, sih."
Kali ini aku menatapnya serius. "Wa, lu tau kan kenapa gue milih udahan? Gue udah berusaha, Wa. Nyatanya dia kaya gitu. Gue juga gak tahu kalau ternyata setelah gue dan dia punya jalan masing-masing, gue bakal sekangen ini sama kebersamaan gue dan dia."
"Mungkin lu bukan kangen dia. Mungkin hati lu cuma belum adaptasi aja sama kepergian dia. Mungkin lu cuma terlalu terbiasa aja sama keberadaan dia," Dewa menggenggam tanganku erat.
"Iya, Wa. Gue cuma kadang gak habis pikir aja, kenapa sekarang semua luka yang dia buat seakan hilang gitu aja. Yang tersisa malah kenangan-kenangan manis sama dia, yang bikin gue susah buat move on."
"Baguslah. Berarti gak ada dendam lagi kan di hati lu? Kenangan mah biarin aja. Biar kalau lu galau, lu inget aja lu pernah jadi orang paling berarti di hidup seseorang. Lu pernah jadi harta paling bernilai di hati seseorang," Dewa menatapku dengan senyum di wajahnya. "Lagian lu udah move on kali. Kan udah ada Dezta," kali ini Dewa menaik turunkan alisnya menggodaku.
Terima kasih, Dewa. Kamu selalu mampu pulihkan senyum di wajahku.
◆◆◆
Aku menatap punggung Azrya yang berjalan di depanku. Tak ada sapaan seperti dia menyapa yang lain. Tak ada teguran bahkan ketika aku menghalangi jalannya. Dia memilih untuk menungguku sadar akan keberadaannya, lalu menyingkir memberikan jalan untuk langkah besarnya.
Azrya kini bukan lagi Azrya-ku yang dulu. Azrya tak lagi tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putih bebas rokoknya padaku. Azrya tak lagi tertawa renyah mengolokku. Azrya tak lagi bernyanyi merdu memanjakan telingaku. Azrya tak lagi memainkan Canon Rock kesukaanku dengan gitar akustiknya.
Aku rindu Azrya-ku. Namun, aku sadar, kalau pun aku kembali bersamanya, Azrya tak akan lagi jadi Azrya-ku yang dulu. Azrya terlanjur terluka dalam karenaku. Azrya terlanjur menguras air matanya saat kehilanganku. Tidak akan mudah pulihkan cinta di hatinya yang terkoyak. Jika hatinya bisa kembali berbunga, tentu bukan karenaku.
Aku memilih menyimpan Azrya tetap dalam hatiku, bukan di sisiku. Aku memilih jalan bahagiaku tanpa ada lagi nama Azrya di hidupku. Aku memilih agar Azrya bahagia tanpa gangguanku.
Aku akan menjauh, Azrya. Demi kamu, kebahagiaanmu, dan kedamaian hidupmu.
Aku memilih pergi meninggalkan Azrya dan semua kenangan yang tersisa tentangnya. Aku memilih untuk tak tahu lagi jalan hidupnya. Aku memilih meninggalkan tempat ini. Tempat di mana seharusnya aku merajut mimpi. Tempat di mana aku dan Azrya dipertemukan. Tempat di mana aku dan Azrya akhirnya berpisah. Tempat di mana seharusnya kuraih gelar sarjanaku.
Selamat tinggal, Azrya. Selamat tinggal Bandung. Ini kali terakhir aku akan melihat punggung Azrya. Kuhentikan langkahku. Kupandangi punggung Azrya yang semakin menjauhiku. Punggung tempatku membenamkan kepala ketika naik si hitam kesayanganku selama satu setengah tahun ini, tak akan lagi kulihat. Punggung Azrya akhirnya menghilang di balik tembok kantin, bersama dengan segala anganku tentangnya.
◆◆◆
[1] The man who can't be moved - The Script
Oneshoot challenge from SeasonalWriters
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Hatiku
Short StoryKutuliskan kisah yang membungakan hatiku, mendebarkan jantungku. Kutuliskan kisah yang menggerayangi pikiranku, merasuk kalbuku. Kutuliskan kisah tentangmu juga aku, tentang dia dan segala hidup ini. Kutuliskan kisah demi menjaga abadinya kenangan...