Senyumnya, tawanya, tatapannya meluluhkanku. Melemahkan hatiku, namun menguatkan cintaku.
◆◆◆
Tawanya renyah terdengar. Seperti alunan musik indah yang terus saja bergema dalam telingaku. Kilauan di matanya memabukkanku, menghanyutkanku dalam hayal tiada berujung. Kulit putihnya kadang merona saat senyum hiasi wajah sempurnanya, begitu memukau.
Dia bak pangeran tampan berkuda putih yang biasa diceritakan dalam dongeng bagiku. Begitu sempurna. Tak ada yang mampu menandingi kesempurnaan rupanya, menurutku. Aku tergila-gila.
Jika saja bukan nama seorang Fella yang selalu terucap oleh bibir ranumnya. Jika saja bukan gadis berambut hitam legam sebahu itu yang selalu mampu mengalihkan pandangannya. Jika saja sang most wanted girl itu bukanlah sahabatku. Jika saja... hah, aku hanya mampu berandai. Aku harus mengembalikan kesadaranku.
Bahkan jika bukan Fella yang bagai Snow White itu yang mengisi hatinya, akan ada Cinderella atau pun Aurora memenuhi hidupnya, pastinya. Tak mungkin aku yang menjadi penggantinya. Tak mungkin seorang aku mendapatkan tempat di hatinya. Bahkan menjadi secuil debu saja di hatinya tampaknya tidak mungkin.
Kutatap lekat cermin kecil dalam genggamanku. Alis seperti Sinchan, mata segaris, hidung yang nyaris tak berbatang, bibir tipis yang pucat tak merona, mana mungkin mampu menarik perhatian lelaki sempurna itu. Belum lagi pipi gembul, dahi selebar lapangan upacara, dan kulit kusam yang semakin menyempurnakan ketidak-sempurnaanku ini. Kutaruh kembali cermin seribu-an itu ke dalam saku kemejaku.
Teeeett....
Suara tak merdu bel istirahat membuyarkan lamunanku.
"Tugasnya lanjutkan di rumah, ya. Besok dikumpulkan," ucap Bu Endah, guru Bahasa Indonesiaku, lantang sebelum beliau meninggalkan kelas.
Kututup buku tulisku, sebelum lelaki di depanku berdiri hendak beranjak dari kursinya. Punggung datarnya mengalihkan perhatianku. Ingin sekali rasanya kurengkuh punggung itu dalam pelukanku. Ingin kuhirup dalam-dalam aroma parfumnya yang selama ini menari di hidungku.
"Mau ke kantin?" Ia menoleh padaku yang masih terpana pada punggungnya.
Aku menggeleng pelan. "Ngga." Kuulas sedikit senyum yang tak akan memperindah wajahku.
Lelaki sempurna itu berjalan meninggalkanku. Kuhela napas panjang, mencoba menetralkan kembali degup jantungku yang nyaris saja suaranya terdengar keluar. Kutatap senyum yang merekah pada wajah sempurna itu. Gigi kelincinya terlihat, mempermanis wajahnya. Lalu dia menghilang di balik pintu cokelat kelasku.
◆◆◆
Lelaki sempurnaku tidak bisa bermain gitar, bahkan tidak mencoba belajar bermain gitar. Lelaki sempurnaku bukan hanya tidak membawa motor besar ke sekolah, dia juga tidak bisa mengendarai motor. Pernah saat kami harus mengerjakan tugas kelompok di rumah salah satu anggota kelompok kami, akulah yang harus memboncengnya. Lelaki sempurnaku bukan anak klub basket. Lelaki sempurnaku bukanlah anggota OSIS atau pun geng most wanted di sekolahku. Lelaki sempurnaku, mungkin hanya sempurna di mataku. Lelaki sempurnaku tidak seperti lelaki lain di sekolahku.
Rambutnya tidak bergaya ala kekinian, tidak memakai pomade, tidak berponi, tidak pula berjambul, juga tidak klimis. Entah harus disebut apa rambut seperti landaknya itu. Bajunya tidak melekat ketat di tubuhnya, bahkan bisa kusebut kebesaran. Sabuknya bukan sabuk dengan model-model gaul, atau pun sabuk KW yang sekarang sedang nge-trend, hanya sabuk hitam seragam sekolah kami.
Jika aku berdiri di samping lelaki sempurnaku, aku hanya sebatas sikunya saja. Dia begitu menjulang, tak perlu berjinjit saja tangannya mampu menyentuh bagian atas pintu cokelat kelas kami. Haha, pintu cokelat. Warna pintu bobrok itu nyaris sama dengan warna mata lelaki sempurnaku.
"Gimana Fella?" Suara serak Satya berhasil membuatku menoleh ke arahnya. Tidak, pertanyaan itu bukan ditujukan padaku, tapi pada lelaki di depanku, lelaki sempurnaku.
Kulirik lelaki berambut kemerahan itu sambil memeluk lutut, berharap tak ada yang menyadari kegugupanku.
"Apaan, ditolak," jawabnya sambil tertawa. Tawa palsu, menurutku.
Haruskah kubahagia? Mungkin akan ada kesempatan untukku, bukan? Nyatanya hatiku malah terasa perih melihat lelaki sempurnaku terluka seperti itu. Dia menceritakan bagaimana dia ditolak begitu saja oleh sahabatku, pujaannya. Hatiku terasa teriris.
Aku tahu aku tak akan memiliki kesempatan untuk bersanding dengannya. Aku cukup tahu diri bagaimana seleranya, si gadis bak Snow White itulah pilihannya. Aku bahkan tak berani berhayal dia tahu bagaimana hatiku untuknya selama tiga tahun ini. Tapi aku masih selalu berdoa untuk bahagianya. Tak kukira dia akan terluka semudah ini. Tak kukira dia akan menerima penolakan tanpa sedikit pun kesempatan diberikan.
Biarlah kupendam kembali asaku untuknya. Luka hatinya tak akan menjadi kesempatan emas bagiku untuk bersamanya. Aku tak sebodoh itu. Cukuplah aku sebagai bagian dari pendengar setianya. Cukuplah aku turut merasakan lukanya dalam diamku. Cukuplah dia mengenangku sebagai gadis yang duduk di belakangnya selama tiga tahun ini. Jangan sampai aku masuk daftar sebagai gadis yang ditolaknya. Jangan sampai aku diingatnya sebagai pengagumnya, bukan sahabatnya.
Akan kusimpan dia sebagai bagian dari angan tak terjangkau-ku. Akan kuukir namanya sebagai bagian dalam hatiku selama tiga tahun masa putih abuku. Lelaki sempurnaku, Devi Priadi Arif.
◆◆◆
Spesial buat WWriteW ♥♥♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Hatiku
Short StoryKutuliskan kisah yang membungakan hatiku, mendebarkan jantungku. Kutuliskan kisah yang menggerayangi pikiranku, merasuk kalbuku. Kutuliskan kisah tentangmu juga aku, tentang dia dan segala hidup ini. Kutuliskan kisah demi menjaga abadinya kenangan...