Prolog

97 9 1
                                    

Meila melihat cowok itu, diatas panggung kecil pada sebuah kafe. Diatas sana, ia terlihat serius dengan toots piano yang sekarang sebagai tempat jari-jarinya menari. Dari sekian banyak, setiap harinya, pianis-pianis tunggal yang memainkan kesepuluh jarinya, baru detik ini, Meila terpukau, entah karena lagu yang dimainkannya, atau jari-jarinya yang terlihat sangat lihai untu menekan setiap toots. Rasanya Meila tidak ingin melewatkan sedetik pun hanya untuk mengedipkan mata karena takut ketinggalan adegan yang dimainkan antara cowok itu dan pianonya. Pianis itu, dengan kemeja hitam, lengan ditekuk sampai ke sikunya, memperlihatkan otot yang tersebar di lengan bawahnya, rambutnya tersisir klimis ke atas, bagian depannya berdiri diatas dahinya, matanya yang tajam terpejam sebentar, memancarkan perasaannya saat itu. Lagu berjudul Feelings, yang selalu membuat hati Meila meleleh ketika mendengarnya, ia(cowok itu) mainkan, sampai seluruh cafe, bahkan ruang hati Meila dipenuhi oleh nada-nada indah yang dikeluarkan oleh piano putih itu.
Kini dihadapan Meila sudah terdapat secangkir Matcha dengan cream kental yang terlukis rapih diatas minuman hijau itu, sehingga membuat Meila tak tega untuk meminumnya.

Meila kembali memfokuskan pandangannya pada cowok dibalik piano itu. Mata mereka bertemu, saling beradu diantara keheningan dan alunan lembut si hitam dan si putih yang tak akan terpisahkan dari tempatnya. Meila segera menarik pandangannya, dan kembali menatap cangkir berisi matchanya. Tanpa ia sadari, senyumannya mengembang.

Ia menyeruput minuman hijaunya itu, dan kembali terlarut akan keharuman aromanya yang selalu membuat Meila tenang. Tak butuh waktu berjam jam, hanya beberapa detik setelah mencium semerbak aroma matcha, lalu kemudian mengecap rasa matchanya yang menenangkan, serta kelembutan cream putih yang selalu meninggalkan jejak diatas bibir dan membentuk kumis.

"Hai." Sapaan orang ini membuat Meila sedikit terlonjak dari tempat duduknya. Tanpa ia sadari, pianis itu sudah turun dari panggung. Meila bukannya menjawab, tapi ia malah salah tingkah dan pura-pura menjadi orang bodoh yang sedang bingung, bagaimana untuk meminum secangkir matcha dengan cream, meminum creamnya dulu atau langsung keduanya ? Pertanyaan bodoh, bukan ?
"Oh, Hai" jawab Meila kikuk, seolah akan memperkenalkan dirinya pada orang yang ia sukai.
"Sudah lama, ya." Cowok itu tersenyum ramah.

--

Utk prolognya, sorry ya kalo singkat, nnti utk chapter2 selanjutnya, bakal dipanjangin deh. Hehe. this is my second story. Don't forget to vote and comment. Thank u for reading.. :)

MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang