Chapter 4

34 4 0
                                    

Dia Michael. Lelaki diseberang sana. Bersama wanita, bukan, sahabat kecilku. Terdiam sebentar, terpaku melihat apa yang di seberang sana. Aku berpaling, berpura-pura tak melihat apa yang sedang terjadi, tanpa kusadari mereka sudah tidak ada. Sehingga ini kesempatanku untuk menjemput pinky.

Sepanjang perjalanan otakku terus berputar, terlalu banyak pertanyaan yabg timbul. Tapi, sudah jelas, bukan? Kalau Rose datang ke Indonesia untuk Michael. Tak dapat kupungkiri, mereka sangat cocok berdampingan. Si tampan mempesona dan si cantik menggoda. Yah, dibandingkan aku? Hanya seorang dosen yang bergaya casual, tentu saja tidak dapat disamakan dengan Rose yang kaya raya, seksi, dan-
Hey, ada apa dengan perasaanku ini? Untuk apa aku memutar otakku hanya untuk pertanyaan semacam itu? Sungguh tidak penting.
Tiiinnnnn.. tiiinnnnn..
Astaga! Kupikir aku sudah gila, berhenti ditengah jalan sedangkan lampu sudah berganti hijau.

**
Kembali ke apartemen mungilku. Perutku ini keroncongan, tapi aku tak ingin makan, so weird. Pada akhirnya, secangkir matcha menemani kembali malamku.

Aku menarik napas dalam-dalam sehingga udara malam menerobos ke dalam lubang hidungku. Kalian tahu? Perasaanku sedang kacau. Ada rasa dimana aku tak ingin ke Green Cafè lagi. Apa aku menyukai Michael? Secepat itu? Tidak mungkin. Perempuan macam apa yang begitu cepat membuka hatinya pada seorang pria asing hanya gara-gara dua piring siomay dan antar jemput. Cihh.

Sungguh kali ini entah kenapa hobbyku tak terlaksana dengan baik. Insomnia? Hal ini memaksaku untuk begadang semalaman. Pilihan terakhirku adalah keluar dan melarutkan diri dengan suasana malam. Speaker mengalunkan lagu feeling dengan lembut, langit tak berbintang, bisa dibilang malam ini mendung. Gemerlapan lampu masih begitu ramai, suara kendaraan yang berdesak-desakan untuk menguasai jalan selalu menjadi tradisi saat langit hendak menumpahkan anugerahnya. Yah, setidaknya semua itu selalu menjadi temanku dikala sepi. Seperti yang kalian tahu, temanku hanya Lana. Nothing else.

**
"Yah, asal kalian tahu, kakak sedang pergi bersama istrinya. Sementara perusahaan bisa kukendalikan. Jangan sia-siakan hal ini, dan cobalah untuk dekat dengan Meila, dia pewaris satu-satunya." Suara lembut bibi terdengar jelas ditelingaku.

Diruangan itu, tak ada satupun orang baik. Semuanya jahat. Orang yang selama ini kupercaya, orang yang selama ini kuandalkan semenjak papa dan mama pergi, menghianatiku.

Beberapa hari kemudian..
"Meila.. meila sayang.." bibi, wanita kejam ini memelukku.
"Papa dan mamamu.."
"Kenapa, bi??"
"Kecelakaan pesawat, nak."
"Ahh, tidak mungkin, mereka sudah berjanji untuk kembali. Mereka harus membawakan bonekaku."
Semakin kencang pelukan Bibi, semakin aku mengerti bahwa ia tak bermain-main.

Sempat aku melihat, ada gurat senyum diwajahnya.

"Papa.. mama... tidakk. Tidakk!!"

**
"Tidakkk!!" Aku tersentak, segera menegakkan tubuhku. Keringat sudah bercucuran dimana-mana, dan aku hanya bisa menutup wajahku dengan kedua tangan. Pipiku terasa seperti terbakar, dan mataku tak berhenti mengeluarkan tetesan air.

Pagi ini aku memutuskan untuk izin. Setelah meraup wajahku dengan air, aku melihat wajahku yang terpantul dicermin, dan mendapati sepasang mata yang bengkak. Hufft, mimpi buruk itu selalu menjadi langgananku. Kenapa aku harus memimpikan orang-orang jahat itu? Lagipula, masih ada banyak hal yang dapat kuimpikan. Misalnya, bertemu pangeran tampan berkuda putih? Bisa jadi, bukan? Atau, memang aku yang terlahir untuk tidak memimpikan hal indah? Haha. Bodoh.

"082xxxxxxxxx" tuutt.. tutt..
Aku sangat kesepian, jadi aku menelpon Lana, siapa tahu dia mau menemaniku. Dia itu pemalas, jadi pasti mau-mau saja jika disuruh izin dari pekerjaan.

"Halo? Lan, gue sakit nih. Sepi lagi dirumah. Mau ya dateng nemenin gue? Please?"
"Halo? Ini Meila? Kamu sakit?"
Loh?! Bukan Lana. Ini bukan Lana. Lalu, siapa pemilik suara berat yang kutelpon ini? Jelas-jelas tadi aku memencet nomor Lana.
"Halo? Mei, ini aku Michael. Maaf, aku tidak sengaja menemukan hp Lana di meja. Jadi kuangkat saja. Kamu sakit, Mei?"

Ah, kenapa dari sekian banyak orang didunia ini yang mengangkat telponnya harus Michael? Kenapa coba?
"Halo? Kamu baik-baik saja kan? Meila?"
"Eh, iya nih. Sedikit tidak enak badan. Tolong kasi hpnya ke Lan-"
"Aku kesana."
Oh, baiklah. Tapi, hei, hei. Apa katanya? Oh God, what should I do?

Kakiku tak bisa berhenti berjalan. Ini sudah kesekian kalinya aku memutari ruanganku. Tak sedikitpun ide bagus yang muncul. Semuanya lenyap begitu saja. Jantungku terus berdebar karena aku tak ingin bertemu Michael. Tangan kiriku tak bisa lepat dari dahi, seperti sudah menempel dengan lem terkuat sepanjang sejarah. Aku berhenti sampai aku menemukan jawaban,

Nothing.

Drrtt..drrtt
"Halo Mei? Kamu dilantai berapa?"
"Eh? Aku.. aku di.. lantai 5."
Bodoh. Bodoh. Kenapa kau beritahu? Ah sudahlah. Semua sudah terlanjur. Lagipula, kenapa juga? Dia hanya ingin bertamu, barangkali.

Ting tong.
Dengan ragu-ragu, akhirnya aku berhasil membuka pintu. Tapi, bukan Michael yang sedang berada didepan pintuku sekarang. Sedikit terkejut, aku mendekat, dan ternyata tidak salah. Bahwa yang ada didepanku sekarang adalah Rose. Yaampun, apa lagi ini? Apa Michael sengaja mengajak Rose agar dia mengurusku? Aku tidak percaya hal ini.

"Mei.. hiks hiks." Rose memelukku tiba-tiba. Entah darimana datangnya dia, tapi apa yang terjadi?
"Ada apa, Rose?" Aku melepas pelukannya, dan mengajaknya masuk. Rose terlihat sangat sedih, gadis ini terlihat berbeda. Wajahnya kusut sekali, bahkan mungkin ia tak memperhatikan apa yang sedang ia kenakan. Apa ini ada hubungannya dengan Michael?

"Pacarku, hiks hiks.." tangisannya semakin menjadi-jadi. Aku bahkan kebingungan karena tak pernah dalam posisi ini.
"Tenanglah dulu, Rose." Aku mengelus punggungnya dengan lembut, karena Lana biasanya melakukan ini padaku saat aku sedih.
"Dia, dia... hiks, akan menikah."
Apa? Michael? Menikah? Entah kenapa, aku ikut terkejut. Terasa tusukan yang mendalam, tanganku terjatuh lemas, dan Rose yang masih menangis tak sadar bahwa aku tak lagi merangkulnya.

Aku memaksakan diri untuk menangkan Rose, meskipun, yah kau tahu, hatiku sendiri sedang takkaruan. Sebuah perasaan aneh yang tak dapat kumengerti. Wah, baru saja aku mendapatkan kupu-kupu bahwa Michael akan datang karena aku sakit. Dan lihat, dia tak ada disini.

Mungkin saja, ketika perjalanan, ia ingat bahwa ia akan menikah. Jadi, ia mengurungkan niatnya. Ia hanya iba padaku. Itu saja. Iba.

"Tapi, aku tak boleh menyerah bukan? Aku harus tetap mendapatkannya." Rose memegang tanganku dengan erat. Terlihat begitu membaranya ia, keantusiasannya membuatku takut. Jika ada apa-apa pada Michael.
"Yah, kau bisa. Lakukanlah." Itu saja yang dapat kukatakan. Disaat seperti ini, mungkin orang lain memilih bungkam, tapi kali ini aku benar-benar bingung.

Rose sangat mencintai Michael. Sedangkan aku, hanya orang asing yang memasuki dunia orang lain

MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang