Ini sudah satu jam setelah Rose pulang. Masih tidak ada tanda-tanda kedatangaan Michael. Yah, toh juga aku sudah tidak peduli. Aku tahu bahwa semua laki-laki di dunia ini tak jauh berbeda. Kalau disuruh memilih, sudah pasti cowok seperti Michael mempertimbangkanku. Jelas-jelas aku akan ditendang jauh-jauh, sudah tereliminasi terlebih dahulu sebelum aba-aba.
Ting tong..
Kaget. Rasanya deg-degan menuju pintu. Michael kah itu?
Hmm?
Tak ada siapapun. Tapi ada sekantong plastik yang tercentel digagang pintuku. Isinya, bubur. Bubur dingin. Aku berlari kecil, mencari jejak seseorang, tapi tak kudapati. Dia benar-benar tidak datang, bahkan tak menelfon.
Sia-sia saja kau menunggu, dia tak mungkin datang.Keesokan paginya, aku sengaja mendatangi Green Cafè. Jangan tanya kenapa. Tentu saja ingin mengutuk sahabatku itu, gara-gara dia aku merasa di php in. Wah, it is really hurt for sure. Kalau saja Lana tidak meninggalkan hp nya, tadi malam aku yakin aku akan tidur nyenyak. Cih, menunggu dihubungi cowok itu seperti menunggu monas pindah ke tugu muda. Sangat tidak berperi kemanusiaan. Siapa lagi? Michael. Ups, Lana maksudku.
Seperti biasanya, lonceng perak itu bergemerincing tepat diatasku, semerbak green tea nyelonong masuk ke hidungku.
"Selamat datang, silahkan."
Tak biasanya ada yang menyambut seperti ini, aku seperti baru melihatnya, tapi kok sepertinya pernah lihat ya? Penampilannya tak seperti pegawai biasa, lebih rapih dan formal.Aku menunduk sedikit kemudian berkata, "Apa Lana sudah datang?"
"Lana? Tentu saja dia dan teman-temannya sedang sarapan dibelakang."
"Oh maaf, mungkin aku terlalu pagi."
Laki-laki itu tersenyum ramah, "Anda pelanggan pertama kami.""Hey, bukankah kamu juga teman Michael?"
"Eng? Tau darimana?" Aku menghentikan seruputanku pada mug berisi matcha itu.
"Kita pernah bertemu, kan?"
Aku berfikir sejenak dan Ohh..
"Ah, kamu manager disini?"
"Iya. Namaku Dimas. Dimas Johanes."
"Meila." Jawabku singkat dan segera meraih sapaan tangannya."So? Berarti dulu kita satu sekolah kan?"
"Yahh, begitulah. Tapi aku yakin kamu nggak kenal aku, karena aku cukup pendiam. Sama sekali tidak populer dikalangan murid."
Ia mengangguk, "ehem, setidaknya kamu cukup terkenal dikalangan guru." "Pekerjaanmu? Apa yang kamu lakukan sekarang?"
"Aku dosen di universitas seberang."
"Pantas saja, mungkin kamu sudah mengecap cafè ini sebagai tempat tongkronganmu."Aku hanya tersenyum tipis, membayangkan apakah aku bisa sering kesini lagi. Mungkin aku akan datang jika tak ada Michael. Uh, apa hubunganku dengannya?
"Yah, entahlah. Mungkin tidak lagi."
"Hmm? Kenapa?" Cowok itu memajukan kepalanya, seolah sangat ingin tahu, kenapa costumer setianya pergi.
"Eh, tidak apa-apa. Hanya sedikit sibuk dengan pekerjaan.""Hey, Mei." Lana berlari kecil menghampiriku, "Selamat pagi, Pak." Ia menunduk pada Dimas, bosnya tentu saja.
"Hai Lan. Aku mau ngomong."
"Kalau begitu, saya tinggal dulu." Dimas segera meninggalkan kami ke belakang."Lan, kamu keterlaluan. Sebel." Aku menatapnya galak, menyilangkan tenganku.
"Loh? Aku kenapa Mei? Kok tiba-tiba marah?"
Aku menceritakan semua apa yang terjadi. Kecuali tentang Rose dan rasa kecewaku terhadap Michael.
"Hah? Michael phpin kamu? Kok tega banget sih?" Itu responnya.
"Kok responnya yang itu? Kamu nggak minta maaf gitu?"
"Hehe" Lana tertawa garing, "Sorry deh Mei. Aku kan nggak tahu."Krincing..
Aku melihat siapa yang datang, jantungku berdebar seolah was-was kalau saja itu Michael. Tapi ini belum pukul 9 kan? Seharusnya dia di studio musiknya. Oh, aku lupa memberi tahu. Michael punya studio musik, yah seperti yang kalian ketahui, dia itu pianis. Dia suka mengaransemen lagu, bahkan menciptakan lagu. Wow, apa ini? Aku belagak sok tahu."Meila?"
Eng? Seperti suara Michael. Benar saja, saat aku berbalik, kudapati laki-laki gagah dengan kaos abu-abu dan jeans biru.
"Oh, hai." Jawabku singkat.
"Sudah baikan? Maaf aku tak datang." Ujarnya lembut.
"Tak masalah." Aku meliriknya sinis, mataku ini seolah berkata,
'kau yang janji untuk datang, tapi malah mengirim pacarmu agar membawa air matanya padaku.'
"Kamu punya waktu? Bisa kita bicara sebentar?"
"Tentu saja." Kataku mantap. "Tidak." Lanjutku.Saat itu juga, aku mengangkat kakiku dan segera ke kampus, tanpa berkata apapun pada Lana yang sebenarnya terlihat bingung. Oh apa ini? Seperti di drama-drama, seorang wanita marah pada pacarnya. Hidup ini memang selayaknya drama, buktinya aku. Belagak seperti perempuan yang sedang marah, dan berharap dikerjar oleh pacarnya. Realitanya? Aku adalah orang ketiga yang tak dianggap.
Pekerjaan dikampus sudah menumpuk, aku harus menyelesaikannya hari ini juga. Aku tipe orang yang tak suka menunda-nunda, jadi untuk hari ini aku harus membiarkan si pinky menunggu sampai jam 11 malam. Motorku yang malang.
Yaampun, aku mengantuk. Biasanya aku akan lari ke seberang membeli matcha, tapi rasanya canggung sekali. Apa aku telfon Lana untuk membawakan aku matcha? Ya benar.
Aduh, kenapa tidak diangkat? Kebiasaan sekali.Buk! Krekk, krek.
Hah? Apa itu? Apa ada orang lagi selain aku? Hari ini kegiatan dihentikan pukul 6. Dan semua orang sudah pulang. Demi Tuhan, apa lagi ini? Apa genre kehidupanku akan berubah menjadi horor?"Siapa disana?"
Tak ada jawaban, bisikan pun tak ada. Aku menelusuri ruangan dosen ini, sampai pintu, aku mendapati seseorang mencoba membuka jendela ruang administrasi. Aku yakin, itu pencuri. Yaampun, apa saja yang dikerjakan satpam diluar sana?Tanpa berpikir panjang, aku berteriak,
"Hei, ngapain kamu?"
Orang itu berbalik, dan melihat kebelakangku, seperti memberi kode. Saat aku berbalik kebelakang, seseorang sudah melayangkan sebalok kayu kearahku. Aku menghindar, mencekal tangannya, lalu menggigitnya. Aku gesit, bukan?
"Jangab macam-macam, atau kupanggilkan satpam."Ada tangan yang memegang kedua lenganku. Sangat kuat, pasti dia laki-laki. Aku mengernyit, langanku di tarik kebelakang, tapi aku berhasil menendang suatu benda berharga yang dimilikinya dengan pantofelku. Ia mundur, dan aku berlati sekuat tenaga kebawah. Membawa pantofelku dengan kedua tanganku. Sangat sulit menuruni tangga dengan heels ini, jadi kubawa saja, siapa tau nanti kubutuhkan.
Sampai di pos satpam, tidak ada siapapun. Hanya ada topi si pak satpam, serta pentungannya. Kota sudah sepi, aku harus menelfon seseorang. Aku meraba seluruh bagian kantong celanaku, tapi aku tidak menemukan hpku. Pasti terjatuh di suatu tempat.
Dan pencuri-pencuri itu sudah hampir dekat. Dan kunci motorku, di atas. Sialan. Sial. Aku ingin berlari ke Green Cafè, ternyata sudah tutup.Karena terlalu lama berpikir, dua laki-laki sudah berada didepanku, sekarang pantofel ini adalah satu-satunya yang kumiliki. Aku melempar keduanya, lalu berlari. Sialnya, aku menginjak batu tapi mencoba lari meskipun pincang, aku berteriak kesakitan sampai aku bertabrakan dengan seseorang. Dan kau tahu itu siapa? Dimas.
"Meila? Kamu kenapa?" Katanya sambil memegang bahuku.
"Ceritanya panjang."
Dua pencuri itu sudah tak terlihat lagi. Aku bernapas lega, tapi barang-barangku? Aku yakin mereka akan lenyap.Dimas membawaku ke Green Cafè, dia membersihkan kakiku, dan ternyata aku menginjak beling, kakiku penuh darah. Untungnya ada Dimas, dia memerban telapaku, dan memberinya obat.
"Thanks ya, Dim. Untung ada kamu." Aku tersenyum padanya.
"Iya, tentu saja."Aku memang sudah tertolong, tapi aku merasa resah, perasaanku tidak enak. Terus saja aku melihat ke arah seberang melalui kaca Green Cafè.
"Dimas, kupikir, aku harus kembali ke kampus. Barang-barangku ada disana."
"Akan kuantar." Dimas membantuku berdiri, dia bahkan memberiku sendal. Pria ini cukup baik, meskipun tak setampan Michael. Ups.Sampai dikampus, untungnya tak ada sedikitpun yang hilang, dan pencuri-pencuri itu sudah tidak ada. Tapi hpku? Aduh, pasti mereka sudah mengambilnya. Aih, bodohnya aku.
Malam ini, Dimas mengantarku dengan mobilnya, dan lagi-lagi, si Pinky dititipkan di Green Cafè. Uh, sedikit tak tega meninggalkannya. Huhuhu..Hari yang sangat panjang buatku. Kejadian hari ini diluar ekspektasi. Lebih banyak kesialan daripada keberuntungan. Pahit sekali.
Hmm, lagi-lagi aku memikirkan Michael. Melamunkan jika saja tadi dia yang menolongku, jika saja dia yang mengantarku, jika saja dia yang mengobati lukaku. Pasti 'kami' sudah baikan. 'Aku', maksudku.-
Hai hai.. 😎
Aku kembali. Chapter kali ini, aku menambahkan sosok lelaki baru.. hehe. Semoga kalian suka ya.
Maaf sudah lama sekali tak menulis, karena beberapa alasan pribadi. Hehe