Chapter 3

48 6 5
                                    

"Kenapa motormu?" Michael berusaha mendekat, dan aku menggaruk kepala yang tidak gatal,
"Eh, ini, si pinky belum makan." Ups! Bahasa apa itu. Michael terlihat kebingungan- barusan itu aku menggunakan bahasaku yang kupakai dengan Lana. "Sori, maksudku, dia motorku bensinnya habis."
Si Michael, mantan biang kerok sekolah itu malah tertawa dan menunjukkan pesona senyuman yang membuat bibirku tak berhenti nyengir, dan gigiku memancarkan pesonanya.

"Mau kuantar?" Michael menurunkan tangannya dari wajah, lalu bertolak pinggang sambil sedikit membungkuk. Sedangkan aku, hanya tersenyum kikuk.
"Eh? Tidak usah. Aku cari taksi saja. Hehe" Dengan segala macam gaya, aku menengok kekanan dan ke kiri dipinggir jalan besar ini. Belum melihat adanya tanda-tanda taksi, sampai ada tangan yang cukup besar memegang pergelangan tanganku, aku menoleh dan mendapati Michael dibelakangku,
"Kamu enggak akan pulang sampai besok kalau begitu caranya. Ayo ikut aku saja."
Aku mengikutinya kedalam sebuah mobil sport yang terparkir begitu elegan di depan cafè. Ketika aku memasukinya, aku langsung mengenali wanginya. Wangi green tea. Menyegarkan sekaligus menenangkanku dihari yang lumayan sial ini.

Keheningan di sepanjang jalan yang diiringi bunyi derasnya hujan diluar sana membuatku agak canggung. Pikiran-pikiran aneh tiba-tiba saja menghantuiku, 'bagaimana jika dia hanya berpura-pura? Bagaimana jika dia tak mengantarku pulang, tapi malah menculikku ke suatu tempat tak dikenal, lalu aku dibunuh, dan sebelum dibunuh aku di-..' Ah! Tiba-tiba saja aku menegakkan posisi dudukku, memasang kuda-kuda, kalau-kalau saja dia sudah menyeleweng ke jalan yang bukan menuju apartemenku.
"Kamu kenapa?" Suara Michael membuyarkan pikiranku dan kepalaku secara otomatis menoleh kaku ke arahnya,
"Ha? Tidak, tidak apa-apa.. eh, belok kiri, belok kiri." Aku menunjuk-nunjuk kearah jalan.
"Tenanglah, aku nggak bakal nyulik kamu kok." Michael tetap mengarahkan pandangannya kedepan, sedangkan aku masih cemas. "Nah, disini belok kirinya. Bukan yang tadi. Ya, kan?"
"Oh iya, hehe."

**
Akhirnya kami sampai juga. "Thanks ya, Mic." kataku sambil melambaikan tangan padanya.
"Oke sama-sama." Ia tersenyum ramah dan mengedipkan sebelah matanya. Kalau dipikir-pikir, dia ini masih sama dengan yang dulu. Caranya tersenyum dan tingkahnya yang sok akrab masih berbanding lurus dengan yang dulu.

Mobil Michael sudah melesat jauh dan menghilang di persimpangan. Tanpa kusadari, aku melengkungkan bibirku sambil mengikuti arah mobilnya, ugh bikin merinding saja.
"Cie, si eneng. Sama siapa tuh?"
Suara itu membuatku terlonjak, seketika aku menyadari kalau daritadi si pak satpam sudah mengamatiku.
"Eh si bapak. Sama temen pak." Aku tertawa yang dibuat-buat.
"Hayo, temen apa temen."
"Duh bapak. Temenlah. Udah ya pak, aku masuk dulu. Semangat ya, pak!" Aku meninggalkan si bapak sambil mengacungkan genggaman tanganku.

Ruangan ini terlihat sepi lagi. Huh, dan hari ini cukup panjang buatku. Mengajar, bertemu dengan Michael, berhutang dengannya, si pinky lupa dikasih makan, dan pada akhirnya aku berakhir dengan Michael. Maksudku, berhutang dengan Michael. Yah, hari ini cukup bervariasi dibandingkan dengan hidupku yang biasanya, flat. Aku merebahkan tubuhku, dan bayang-bayang Michael terlintas dipikiranku. Apa-apaan ini?! Aku menggelengkan kepalaku sambil menggaruknya. Oh, mungkin aku belum keramas, makanya pikiran aneh masuk lewat kuman-kuman dari luar sana. :v

Mandiku kali ini lebih cepat dari biasanya. Karena kantukku tak tertahankan lagi. Magnet empuk itu sudah menarik tubuhku keatasnya. Bug! Tak sampai lima menit, mungkin aku sudah bermimpi. Mimpi yang indah.

**
Hari ini aku harus mencari taksi untuk sampai ke Green Cafe sebelum kelas dimulai. Seperti biasanya, aku kembali berpenampilan sebagai seorang dosen yang disegani. Aku turun sampai ke basement, dan menyapa satpam di dekat pagar, "pagi pak"
"Pagi, neng. Tuh, udah di tunggu." Dengan sopan si bapak menunjuk keluar pagar. Aku mendapati mobil sport hitam, mengkilap berada di depan. Aku ber-hah ber-hm? Tak mengerti. Bergegas kesana, dan mendapati cowok tinggi, memakai kemeja putih dan jeans, sedang bersandar sambil menyilangkan tangannya didepan dada dan jelas-jelas menerima cahaya matahari yang terlihat silau pagi ini dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Bibir penuh merah jambunya tersenyum miring

MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang