Chapter 6

18 2 0
                                    

"Halo, Lan? Kamu lagi di Cafè?" Hari ini aku sangat tergesa-gesa. Aku lupa kalau pinky sedang dititipkan. Ah iya, jangan heran, jangan takjub, dan jangan mengira aku dengan semena-mena menghabiskan uangku untuk langsung membeli hp baru. Ini hp lamaku yang sengaja kusimpan. Yah, meskipun hp jadul, tapi sangat awet.

"Eh? Ini kamu Mei? Iya aku di Cafè. Nomor kamu ganti?" Suara Lana terdengar seperti terburu-buru.
"Nanti kuceritakan. Panjang banget. Oh iya, tolong keluarin pinky dari situ dong. Tadi malam aku nitipin dia, sekalian bawain ke parkiran kampus deh. Soalnya 'nggak sempat ke Cafè."
Oke, aku sadar, bahwa aku ini peminta tolong yang tak tahu diri.

"oke oke" tuutt.
Ihh, langsung ditutup. Dasar.

Tinn tinn..
Sepertinya ojekku sudah datang. Hari ini terpaksa harus menelusuri jalan sama abang ojek. Bukannya aku malu pakai motor, toh setiap hari juga aku pake motor. Tapi aku malas jika disuruh duduk ala-ala cewek yg menurutku terlalu feminin. Kedua kaki disisi kiri, dan oh ya Tuhan, siap-siap saja terloncat jika saja ada jeglongan di jalan. Konyol.

Jadi untuk hari ini aku akan memakai celana. Jujur saja, sudah lama sekali aku tidak pakai celana untuk pergi bekerja, ups, celana yang diluar, kalian pasti mengerti. Disini sifat femininku terlihat, maksudku, aku kurang suka pakai celana yang bukan jeans untuk pergi kemana mana. Tidak tahu kenapa, rasanya cuma, tidak enak.

***

Author POV

Michael, pianis itu,  bukannya dia di cafè, alih-alih berada dirumah, mengobati lukanya. Tidak sekedar luka memar semata, tetapi goresan pisau dilengannya yang cukup dalam membuatnya mengernyit kesakitan saat mengoleskan obat merah itu.
"Adaw, gila, it hurts me so much."

Laki-laki itu terus mengernyit selagi mengoleskan obat di lukanya itu. Keberanian yang sudah ia lakukan tadi malam mengakibatkan luka dalam itu. Yah, pandangan Michael tiba-tiba saja kosong, ia memikirkan hal lain. Tidak lain, ya, Meila. Bagaimana kondisi gadis itu? Sekarang ia sedang apa? Menangis di kamar? Senang-senang saja? Atau? Apa tidak ada sekecilpun pikirannya yang menjurus padanya?

Michael memutuskan untuk ke cafè nanti sore. Sebenarnya dia ingin menghubugi gadis itu, tapi ia takut kalau saja Meila tak ingin bertemu dengannya.

***

Meila POV
Hari ini aku harus mengisi asupan matchaku. Tidak bisa tidak. Sudah beberapa hari ini aku stress, dan hariku penuh kesialan. Lebih parahnya lagi, tidak ada setetes matcha pun yang kuminum dari cafè itu. Hmm, kalau sore ini aku ke cafè, apa Michael ada disana? Sudah pulang belum, ya ?

Ting
Bel perak diatas pintu itu kembali meningkatkan presentase energi dan ketenanganku. Ditambah dengan aroma, dan wewangian green tea yang selalu menjadi khas tempat ini. Aku membelokkan pandanganku pada piano ditengah ruangan, dan berharap ada seseorang disana. Tapi, tidak ada. Hanya meninggalkan debu-debu halus di pinggiran kursinya. Alunan melodi yang kurindukan dari seorang Michael yang sekarang mengalihkan fokus pandanganku dari pemandangan diluar jendela menjadi ke bangku sang pianis.

"Hey, kok berdiri aja lo? Biasanya langsung nyerobot tempat." Ada jeda sebelum ia melanjutkan,
"WOI! MALAH BENGONG!"
Asam nih si Lana. Sontak saja aku terlonjak kaget karena teriakannya itu. Untung saja cafè lagi kosong. "Hoi, bisa kena spot jantung gua."
Lana ingin melanjutkan sebelum si bel kecil itu 'menggelenting' (maafkan bahasaku, karena aku sering menamai kata kerja sesuai dengan bunyinya).

Seperti pelayan cafè lainnya, dia langsung berlari ke pintu. Sebelum aku berbalik, Lana sudah menyebutkan nama Michael. Bosnya itu. Ah, sekaligus teman sekolahnya.

Yah kalian pasti tau reaksiku. Perasaan yang familiar kembali datang. Ketika aku melihat wajahnya, aku cuma terdiam dan kemudian berdiri kaku saat dia bilang,"hai."
"Ohh, hai juga."
Hari ini Michael memakai sweatshirt warna light grey dengan jeans biru terangnya.
"Bro, tumben baru dateng jam segini."
Dimas tiba-tiba datang dan menepuk lengan kirinya, "aawwww" Michael menjerit sambil membungkukkan tubuhnya ke depan. Refleks, aku yang ada dihadapannya, menangkap tubuhnya dan mendapati lengan bajunya itu menampakkan cap merah tua. Darah.

Dimas kewalahan, merasa bersalah, dan panik kalau saja temannya itu akan mati. Dia keluar, kemudian kembali dan membopong Michael kedalam mobilnya. Lana hanya menutup mulutnya. Anak itu sangat takut darah. Kalau saja ada waktu untuk pingsan, dia akan pingsan. Tapi aku melotot padanya, dia mengerti kodeku lalu berlari ke belakang untuk menenangkan diri.
Sedangkan aku? Aku ikut bersama Dimas, yang pasti pergi ke rumah sakit.

***

"Dimas, gimana Michael?" Kataku setelah Dimas keluar dari ruangan dokter.
"Lukanya dalam, Mei. Dia butuh operasi kecil."
What? Operasi? Ya Tuhan, apa ini? Sebenarnya apa yang dia lakukan sampai terjadi seperti ini?
Ini sudah jam 7 malam, dan akhirnya operasi Michael selesai. Aku menghampiri kamarnya, sedangkan Dimas sedang cari makan.

Aku membuka pintu perlahan agar dia tidak terbangun. Menjaga langkah kakiku agar setidaknya mengurangi beberapa persen volume suaranya. Sampai aku di samping tempat tidur khas rumah sakit itu. Aku melihat wajah Michael yang pucat. Benar-benar pucat. Seratus delapan puluh derajat dari biasanya, penuh warna dan ceria. Tangannya terkulai lemas dengan perban yang terbalut rapih. (Yah, kalian tahu, serapih-rapihnya perban, dia tetap perban yang membaluti luka, dan luka bukanlah suatu hal yang memiliki relasi dengan rapih.)

Bibir Michael sedikit bergerak. Mungkin ia mulai merasa sakit karena biusnya mulai hilang. Aku ingin memegang tangannya, tapi ada yang mengganjal dihatiku. Michael berkeringat, wajahnya semakin pucat. Tangan kanannya mengenggam, ia menoleh-nolehkan wajahnya. Sontak aku memegang tangannya, dan hendak mengambil tisu untuk mengelap wajahnya. Tapi, tangan ini begitu kuat. Tubuhku seolah memantul kembali.
"Semua baik-baik saja, Michael." Bisikku.
Tanganku yang lain memegang pipinya, dan seketika dia membuka matanya.

"Mic, kamu nggak papa?"
Tatapannya kosong, tapi kemudian dia menatapku. Sangat dalam.
"Kamu nggak papa?" Aku heran, sebenarnya kenapa dia ini. Bukankah dia yang sedang terkulai lemas disini?
"Hm, aku nggak papa. Kamu, mimpi buruk?" Kataku ragu.
"Ya, dan mimpi itu menyeramkan."
"Tenang, nggak ada apa-apa,kok." Aku mengangguk dan tersenyum. Ingin melanjutkan kata-kataku, tapi dia lebih dulu, "Tapi, kamu disana. Kamu dalam bahaya."
Awalnya aku bingung, tapi kemudian aku mengerti. "Itu cuma mimpi, aku nggak papa kok." Aku tersenyum kemudian.

Dimas tiba-tiba saja membuka pintu dan itu mengagetkan kami berdua. Dan ketika kami sadar bahwa jarak kami sangat dekat, dan tangan ini, masih berkaitan.
Spontan saja, kami berdua berdeham dan memalingkan pandangan. Demi Tuhan, ini canggung.

"Hei, hei, makan dulu nih." Aku keluar sebentar untuk mencari udara, ruangan ini tiba-tiba panas. Fyuhh..

***
A

uthor POV

Dimas menghampiri Michael dengan ekspresi yang sudah pasti sangat merasa bersalah.
"Mic, gue minta maaf. Gue bener-bener nggak sengaja." Michael tersenyum,
"Udahlah, lagipula kalo lo nggak mukul gue, kita gak bakal tahu kalo luka gue separah ini." Dimas gantian tersenyum, namun air mukanya berubah.
"Heh, lagian lo kenapa bisa dapet luka kaya gitu?" Dimas membentak.

Michael kaget, "Loh, kok lo yang marah?"
Dimas tetap diam sampai akhirnya Michael membuka mulut,
"Kemaren gue mukulin perampok di kampus seberang cafè. Gue ngeliat Meila lari, jadi gue lebih milih ngehalangin tu pencuri biar nggak ngejar. Puas lo?"
"What?? Jadi gara-gara pencuri itu. Kurang ajar." Dimas menggenggam tangannya sendiri seolah siap untuk berperang.
"Sstt, udahlah, biarin aja. Lo gak perlu bilang ini ke Meila."

MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang