Chapter 2

68 5 6
                                    

Hujan deras tiba-tiba tumpah kebumi. Aku sedang berada dijalan menuju rumah, sial!  Kenapa dia tidak bilang-bilang kalau mau datang? Kalau dia bilang, kan aku bisa siap-siap dulu. Dan kesempurnaan hari ini ditambah dengan tertinggalnya jas hujanku dirumah. Rasa-rasanya aku ingin melepas stir motor ini dan bertepuk tangan diatas si pinky.

Tapi, kuurungkan niat brilianku itu, lalu berkonsentrasi ke jalan. Aku belum siap bertemu Sang Kuasa. Aku masih ingin menyesap matchaku, aku masih ingin mendengarkan lagu feelings. Kalau pada sinetron-sinetron, kebanyakan kalau si pemeran memerankan tokoh sepertiku, yang ditinggalkan orang tuanya dan berusaha hidup seorang diri, aku yakin tokoh tersebut akan berjuang untuk mati dan lari dari keadaan.

Selama perjalanan, bayanganku terusik oleh adegan di cafè tadi. Hal pertama yang kuingat adalah cowok dibalik piano tadi, Michael. Mengingat betapa terpesonanya aku, dan bisa kubayangkan wajah bodohku. Kalau semisal tadi Lana tidak datang dengan secangkir matchaku, aku yakin, tak ada yang dapat menyelamatkanku dari hanyutan sungai melodi indah itu. Tapi memang karena permainan pianonya itu bagus, bukan karena apa-apa.

Akhirnya, aku sampai juga di apartemenku. Sampai dengan basah kuyup, aku berlari-lari kecil sampai ke kamar mandi, berkeramas, dan mengeringkan rambutku. 'Ahh.. lega juga.'
Aku mempersiapkan tempat tidurku, dan tanpa tanggung-tanggung membanting badanku keatas gundukan kapuk itu. Aku sudah terlalu lelah dan mengantuk.

Tanpa terasa cahaya terang sudah merambat masuk melalui jendelaku. Sang surya masih tampak malu menampakkan kebolehannya. Aku mengolet dan menyipitkan mataku dari cahaya, membuka jendela lebar lebar untuk mendapatkan vitamin D pagi ini. Hari ini aku harus ke kampus, kerjaan hari ini cukup padat, membuatku menarik napas panjang dan menghembuskannya sekuat mungkin. Aku menyampirkan handuk putih diatas pundakku, berjalan gontai ke kamar mandi, kedua mataku masih sayu-sayu, sampai-sampai jari kelingking kakiku menatap ujung pintu. Kalian tahu kan seberapa sakitnya itu? Aku mengerang, itu cukup membangunkanku dan memelekkan mataku dengan sempurna.

Pagi ini aku tidak akan sempat untuk singgah ke Green Cafè, jadi aku melangkahkan kakiku ke dapur, dan meraih toples berisi bubuk matcha yang selalu kubeli dari cafè. Aku menyeduh matcha dengan air panas, kedalam cangkir kesayanganku, cangkir putih polos, tak bergambar. Diluar memang terlihat kosong, tapi didalamnya penuh dengan keharmonisan antara bubuk halus berwarna hijau dan krim latte yang sudah tercampur didalamnya.

Seperti biasanya, aku menyambar pakaian kerjaku, celana panjang namun kadang rok span berbahan kain, serta hem polos yang terlihat pas ditubuhku..Hari ini aku akan mengambil tema biru putih pada pakaianku. Aku menggambil kemeja biru donker, dan rok span putih dengan sedikit sobekan dibelakangnya. Aku mengubah penampilanku dari seorang gadis labil seperti kemarin, menjadi wanita dewasa yang bisa dipanggil 'bu dosen' oleh murid-muridnya. Aku mengikat rambutku tak terlalu tinggi dengan karet hitam, memasang kacamata bergagang hitam biru dan memadukannya dengan polesan bedak dan eyeshadow biru muda yang terpoles tipis di kelopak mataku. Aku mengambil lip gloss berwarna pink dan seketika bibirku yang pucat dan kering menjadi lebih segar.

Si pinky sudah menungguku di basement, aku menumpanginya keluar dan menyapa ramah pak satpam yang sedang menjaga di depan. Cuaca yang sedikit mendung memotivasiku untuk membawa jas hujan pink bersayap andalanku. Kau tahu bukan? Jas hujan dengan topi dan lengan, memanjang kebawah sehingga jika dikenakan saat dijalan akan terbang mengikuti arah angin. Seperti sayap, bukan? Hahaha. Itu yang kurasakan. Terbang.

Aku berjalan menelusuri koridor demi koridor, hingga sesampainya dikelas tak ada orang disana. Wah, bagus sekali! Amazing! Tak sebatang hidung pun menampakkan dirinya-bayanganpun tidak. Merasa kesal, aku berjalan ke koridor lain, "Bu... bu.. kok nggak masuk?" Aku menoleh dan mendapati muridku disana. Seketika aku menyadari bahwa 'AKU SALAH RUANGAN'.

MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang