Chapter 7

13 1 0
                                    

Author's POV
Setelah keluar dari Rumah Sakit, Michael kembali pada rutinitasnya. Yah, tak heran. Dia pengusaha yang cukup sibuk, dan tentu saja pianis yang memiliki banyak jam terbang.
Hari ini, Meila sangat dibahagiakan. Siapa yang tidak bahagia jika tahu akan libur? Entah guru, entah murid, entah pekerja lainnya, semua senang.

Meila berjalan girang, menyebrang dan kembali menghirup aroma segar dari matcha. Tak lupa disambut dengan suara khas lonceng yang tepat diatas pintu, serta interior ruangan yang selalu familiar bagi Meila.
"Hei, Lan." Meila melambaikan tangannya, sambil mengucapkan sapaan namun tak bersuara pada sahabatnya itu.
"Hey, yoo Mei." Aku tersenyum riang, "Yah, gue tau, yang udah libur." Ia memicingkan wajah, dan melebarkan puppy eyes nya.
"Tau aja lo." Meila menyikut lengan sahabat mungilnya itu.

**
Meila POV

Luar biasa. Ya, kata libur memang selalu luar biasa. Hari ini dan besok dan lusa dan satu bulan kedepan aku bisa bebas. Ah, tidak bebas-bebas amat, sih. Ada sedikit tugas.
Seperti biasa, untuk menyempurnakan suasana hatiku yang sedang baik ini, secangkir matcha bukan pilihan yang buruk. Green Cafè selalu menjadi tujuanku untuk menyesap cream matcha.

Lana terlihat sibuk, Green Cafè cukup ramai, entah kenapa begini. Tak biasa pada jam seperti ini banyak yang datang. Tapi, bodo amat. Apapun yang terjadi, setidaknya tak ada yang menyerobot tempat favoritku.
Tanpa diaba-aba, Lana dan beberapa pelayan disini memang sudah hafal kesukaanku. Jadi, tak perlu repot-repot untuk mengangkat tangan, dan memesan. Cukup menampakkan wajahku pada mereka, dan beberapa saat kemudian secangkir cream matcha latte akan tersedia dihadapanku.

Sambil memandangi sungai buatan melalui kaca lebar didepanku, ada hal lain yang kupikirkan. Kenapa Michael tidak pernah datang? Apa dia ke luar negeri? Atau ada pertunjukkan seni di suatu tempat?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, seolah hal itu akan berhasil mengusir pikiran tentang Michael. Tapi faktanya, tidak. Beberapa saat aku melamun, tapi aku disadarkan oleh dentingan toots piano di belakangku. Alunan nada yang lembut, dengan chord-chord manis yang diselipkan sebagai improvisasi. Pianis itu menyampingiku, tapi aku tahu, dia Michael.

There's a little thing trembeling in me
I don't even know
My heart that I hide everytime I breathe
I wake up a little by little and keep going
My heart is filled with you

Even if you close your eyes,
Because she is you.
It floats in my head
My words caught at the end of my lips hidden in my heart

Michael menghampiriku, dan menyapaku.
"That's great song." Kataku blak-blakan.
"That's a confession" Dia tersenyum, dan aku? Tidak tahu. Entah bagaimana aku.

**

Ya Tuhan, kenapa aku ini? Isi lagu yang dinyanyikan Michael masih terngiang-ngiang dikepalaku. Dari lirik sampai pada nada, tak terkecuali suara Michael terus berlonjak-lonjak dijantungku.

Cukup. Aku tak bisa tidur.

Because she is you, because she is you..

YaLord, tak hanya jemari yang lihai, tapi suaranya membuat luluh hati para wanita. Penghayatan dengan isi lagu, menyayat hati pendengar. Tapi yang kupikirkan sekarang, lagu itu untuk siapa?
Getaran hp memecah lamunanku, tapi tidak memperlambat detak jantungku. Malah sebaliknya. Dilayar handphoneku tertulis nama "Michael". Butuh pertimbangan besar, angkat atau tidak?

Bukan, bukan. Tidak sedang jual mahal, cuma aku sedikit malu. Karena sedang deg-degan, aku takut kalau suaraku terlihat gugup. Angkat saja.
"Ha..lo?"
"Hai, Mei." Suara Michael terdengar seperti biasanya. Tidak gugup.
Aku masih terdiam, dan kepalaku tidak cukup memuat inspirasi untuk berkata-kata.
"Halo? Meila?" Aku mulai mencari kata-kata, "Mei, bisa keluar gak? Temenin makan, dong. Laper nih."
Mataku melebar, jantungku mulai tenang, dan hasil dari sekian lama aku mengumpulkan inspirasi kata, aku cuma bisa bilang, "Oke".

Aku mangambil jaket b untuk memilih pakaian, aku bahkan tak sadar kalau sedang memakai sendal rumah dengan asesoris boneka kelinci, sehingga aku berbalik dan aku melihat senyum samar, oh bukan, seperti menahan tawa di wajah Michael. Astaga, aku malu.

"Hei, sorry ya." Aku menyapa kikuk, dan tak berani melihat ke wajahnya.
"It's okay. Let's go." Michael berjalan menuju mobilnya "Silahkan" Dia membuka pintu sambil mempersilahkanku ala putri kerajaan.
Aku memasukkan kedua tanganku kedalam saku hoodie, lalu berjalan dan tersenyum kaku.

"Maaf ya, ngajaknya malem-malem. Tiba-tiba laper, nih gue." Michael memecah keheningan.
"Eh, nggak papa, kok. Tapi, kenapa lo nggak ngajak Dimas?"
"Yahh, gue cuma.. kangen?" Kata Michael menghadap kearahku.
Otomatis, si jedag dan si jedug penghuni jantungku mulai berbenturan membentuk irama beraturan namun cepat. Tadinya aku melihat wajahnya dari samping, tapi sekarang, spontan aku mengarahkan kepalaku ke depan.

Tak ada ba bi bu, aku tertawa kencang. Sepertinya otakku tidak bisa merespon keadaan. Aku ini sedang bingung dan deg-degan, tapi dia malah memberi perintah untuk tertawa. "Michael. Lagumu tadi sore itu keren." Kataku mengacungkan jempol kanan dan kiri bersamaan.

"Haha. Thanks udah dengerin dan menahan diri untuk cepat-cepat pergi." Dia diam sebentar,"Yeah, suaraku, kau tahu-"
"Keren." Aku tersenyum tulus untuk itu. Laki-laki disampingku ini ikut mengembangkan bibirnya.

"Okay, kita sudah sampai." Dia memarkir mobil lalu mengodeku untuk keluar. Aku mendorong pintu lalu keluar. Disini sudah terlihat beberapa pedagang yang sibuk dengan pesanan pelanggan, ada juga pedagang yang menawarkan dagangannya pada pelanggan karena warungnya sepi. Sepanjang jalan dipenuhi dengan berbagai makanan. Dan hanya satu yang ada dipikiranku, ini surga.

"Ayo." Michael menaikkan topi hoodie keatas kepalaku. Aku tersentak dan menatap wajahnya. Dia menaikkan sebelah alisnya lalu bilang, "disini banyak asap, rambutmu ini terlalu wangi, jadi sayang kalo kena asap."

Aku menarik tali yang menggantung sehingga tudung hoodie itu semakin erat. Aku mengangguk sebelum mengikuti Michael. Demi Tuhan, aku sangat bersemangat. Begitu banyak warung makan, dari makanan tradisional sampai makanan dari luar negeri.
Penciumanku sudah merujuk pada wewangian sate.
"Kamu mau makan apa?" Tanyaku pada Michael yang daritadi menahan tawa sepertinya.
"Ngikut kamu aja."

Tidak perlu basa-basi. Aku langsung menunjuk salah satu warung sate terwangi. Michael mengikutiku dari belakang.
"Suka banget sate?" Tanya Michael.
"Banget, I like it, and I can't explain how much it is."
"Hahaha. Wajahmu itu lucu kalau lihat makanan."
"Aku tahu. Seperti hantu yang melayang-layang mencari mangsa."
"Bukan. Lebih tepatnya seperti kucing melihat ikan."
"Stop. Aku benci kucing. Jangan sebut-sebut namanya."
"Kenapa? Dia lucu."
Aku menghela napas, "Tapi, dia.."
"Apa?"

"Permisi mbak, sate ayamnya."

**
Short chapter, yes.. sorry lama update :(

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang