Part 9: I Don't Want to be Alone

15 3 0
                                    

Aerilyn membuka pintu rumahnya dengan gerakan perlahan, dia menyembulkan kepalanya mengintip saat daun pintu itu mulai terbuka. Matanya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, memastikan bahwa situasinya aman dan dia bisa keluar rumah dan memulai kelas musim panasnya dengan tenang. Beberapa detik mencoba memantau, Aerilyn mulai membuka pintu dengan yakin. Kakinya melangkah keluar dengan mantap. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Aerilyn segera mengunci pintunya dan berlari menuruni anak tangga menuju mobilnya.

Aerilyn berdiri di samping mobilnya, kemudian menunduk melihat ban mobilnya dan beralih ke sisi lain mobilnya untuk memastikan hal yang sama, bahwa ban mobilnya masih utuh, tidak kempes, tidak bocor dan tidak hilang. Aerilyn menghela nafas lega kemudian kembali ke sisi kemudi. Dia membuka pintu mobil dan segera masuk, duduk di balik kemudi dengan nyaman. Lagi-lagi dia memeriksa seisi mobil sebelum akhirnya menyalakan mobilnya dan melaju meninggalkan rumahnya.

Kurang lebih satu jam mobil itu melaju di jalanan, akhirnya Aerilyn tiba di kampusnya, dia segera memasuki kelas dan duduk di bangku tengah. Aerilyn mengamati ke sekelilingnya. Kelas tampak tak seramai biasanya. Tidak banyak mahasiswa yang mengambil kelas musim panas.

"Baguslah... Jadi aku bisa lebih konsentrasi." batinnya senang.

Aerilyn menyandarkan punggungnya di kursi sambil mengeluarkan ponselnya.

"Dasar gadis itu... Dia bahkan tidak menghubungiku." rutuk Aerilyn menatap ponselnya yang menampilkan foto dirinya dan Jenessa.

Beberapa menit kemudian seorang profesor berkacamata memasuki ruangan kelas dan segera memulai pelajarannya.

***

Setelah menyelesaikan kuliahnya hari ini, Aerilyn bergegas pulang ke rumah. Berada di luar rumah membuatnya tidak tenang. Perkataan Ruby waktu itu terus terngiang di kepalanya. Hati-hati dan waspada. Itulah yang selalu ia coba lakukan.

Sesampainya di rumah dia dikejutkan dengan seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya yang kini sedang memperhatikannya, menunggunya keluar dari mobil.

Aerilyn turun dari mobilnya dan menghampiri pria berumur sekitar 30an itu dengan malas.

"Kau dari mana?" tanya pria itu tampak lelah.

"Sudah berapa lama di sini?" tanya Aerilyn datar.

Pria itu sedikit menggumam. "Sekitar satu jam." jawabnya.

"Ada perlu apa? Kau tidak mungkin menunggu selama itu jika tidak memerlukan sesuatu." ujar Aerilyn seraya membuka pintu rumahnya dan melewati pria itu.

"Kau memang keponakan terbaikku." ujar pria yang ternyata paman Aerilyn itu seraya menyusul langkah keponakannya.

Aerilyn berdecak. "Seberapa banyak keponakan yang kau punya?" tanyanya.

"Hanya kau." jawab pria itu dengan senyum mengembang.

"Cepat katakan, ada perlu apa ke sini? Setelah itu pulanglah." Ujar Aerilyn mengusir. Dia sedang tidak ingin berurusan dengan pria pemabuk dan pengangguran yang sialnya adalah pamannya sendiri ini.

"Kau ini... masih tetap kasar." ujar paman Aerilyn kemudian menjatuhkan pantatnya nyaman di sofa ruang tamu tanpa mempedulikan tatapan tajam dari Aerilyn.

"Setidaknya berikan pamanmu ini kopi." tambahnya.

Aerilyn mendengus. "Ambil sendiri... Aku tidak mau melayanimu." ujarnya kemudian berlalu ke kamarnya.

"Kau persis ibumu." ujar pria itu sambil menuju dapur Aerilyn.

"Dan kau sangat berbeda dengan ayahku." teriak Aerilyn dari kamarnya.

INSANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang