Part 11: Dream

11 3 0
                                    

Aerilyn terbangun dari tidurnya dengan perasaan lebih tenang dari biasanya. Alasan terkuat dari ketenangan Aerilyn adalah tidak ada lagi yang mengganggu tidur malamnya, tidak ada lagi yang mengirimkan bunga dan surat untuknya. Akhirnya dia bisa menikmati musim panasnya dengan santai. Kuliah, belanja, jalan-jalan, nonton bioskop. Dia melakukan semuanya tanpa beban.

Gadis itu keluar kamarnya dan mengamati rumah yang tampak sepi. Anthony sudah seminggu lalu pergi, katanya dia harus kembali ke rumahnya sebelum rumah itu berubah menjadi sarang laba-laba dan di ambil alih para hantu-hantu miskin yang membutuhkan tempat tinggal.

Skitar satu jam kemudian gadis itu keluar dari balik pintu rumahnya dengan pakaian lengkap, kaos putih dipadu kemeja kotak yang tidak di kancingkan dan kembali dibalut jaket denim biru sebagai pelengkapnya, tidak ketinggalan jeans hitam dan sneakers putih yang menutup kakinya rapat. Tas selempang cokelat yang membawa beberapa buku dan peralatan tulisnya bertengger manis di pundak kirinya. Sambil menggigit sandwichnya dia menuruni anak tangga setelah terlebih dulu mengunci pintu rumahnya. Gadis itu bergegas menuju mobilnya, dan beberapa menit kemudian dia melaju bersama mobilnya meninggalkan pelataran rumahnya menuju kampus.

***

Sesampainya di kampus, Aerilyn mendengus malas. Dia lupa dengan fakta bahwa dia tidak memiliki teman. Satu-satunya teman yang dia punya adalah Jenessa. Ah, ditambah Ruby yang sepertinya mau menjadi temannya. Dia kembali meralat pikirannya yang mengatakan musim panasnya tanpa beban, pada kenyataannya dia masih memiliki beban yang lainnya.

Dulu, kemanapun Aerilyn melangkah, selalu ada yang menyapanya, menanyakan kabarnya atau sekedar say hi. Tapi kini, entah dia melewati segerombolan mahasiswa di koridor, tak ada satupun yang menyapanya, seolah dia tak terlihat. Ternyata roda berputar terlalu cepat. Dia kini menjalani hari-hari kuliah yang seharusnya indah itu menjadi suram. Beberapa kali Aerilyn tidak sengaja mendengar bisikan halus tentangnya saat dia melintasi beberapa mahasiswi yang sedang asik berbincang di koridor. Banyak yang mereka bisikkan, tapi yang tertangkap dan terekam jelas di benak Aerilyn adalah kata-kata mereka yang menyebutnya wanita sial, bencana dan penyihir.

Aerilyn mengernyit mengingat itu, walaupun sekarang dia tidak terlalu peduli, tapi jika diingat-ingat tetap saja menyakitkan. Padahal kan dia tidak pernah bermasalah dengan para wanita itu. Jika para pria yang mengatakan itu padanya mungkin Aerilyn hanya akan pasrah dan menerimanya, tapi, wanita-wanita itu. Apa yang sudah Aerilyn lakukan pada mereka? Aerilyn bahkan tidak berminat untuk pacaran dengan sesama jenis. Kenapa mereka ikut-ikutan mencibirnya. Lagipula ini bukan keinginannya, siapa juga yang ingin punya penggemar rahasia yang punya penyakit gila seperti itu.

Aerilyn menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya kasar. Dia berjalan gontai menyusuri koridor yang tampak sepi menuju kelasnya yang ada di ujung. Dia hanya berharap musim panas kali ini cepat berlalu, dan dia bisa kembali memiliki teman. Jenessa tentu saja. Ah,dan Ruby, jika gadis itu tidak berubah pikiran setelah menikmati liburan musim panasnya yang menyenangkan.

***

"Davyan..."

Davyan menoleh malas tapi kemudian memasang tampang sok tampannya itu saat seorang gadis berambut pirang dan memiliki tubuh yang ehem itu menghampirinya dan langsung bergelayut manja di lengannya.

"Selamat pagi cantik." sapa Davyan sambil mengerling nakal.

Cuup~

"Pagi juga..." balas gadis itu setelah mengecup bibir Davyan singkat.

Davyan tidak terlalu terkejut dengan perlakuan gadis itu, sudah terlalu biasa. Bahkan bibir gadis itu bukanlah satu-satunya yang mampir ke bibirnya pagi ini. Gadis itu kalah cepat hari ini.

INSANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang