1st Layer: A Mirror

14.5K 1.2K 105
                                    

Ada sebuah cermin aneh di rumahku. Cermin itu tergantung di tembok sisi kiri, menghadap ruang keluarga. Tempat itu selalu kami lewati ketika kami pergi ke ruang makan dan dapur. Cermin itu tampak klasik dan misterius secara bersamaan. Benda itu sudah menggantung di sana sejak lama, bahkan ketika Kakek masih muda dulu. Tidak boleh ada yang menjual atau membuang cermin itu. Cermin itu warisan dari kakek. Aku tidak tahu pasti ada cerita apa di balik cermin itu, namun satu hal yang kutahu.

Cermin itu ajaib.

Mungkin orang tidak akan percaya ketika kami menyebutkan kelebihannya. Selain Paman yang selalu bercermin di sana, dengan sisir di tangan. Lalu berbalik dan tersenyum geli sembari berkata, "Aku melihat Unicorn di sana. Tersenyum ke arahku dengan surai indahnya."

Entah itu hanya imajinasi atau bukan, namun kami sudah meletakkan benda itu sebagai sesuatu yang mistis. Sesuatu yang aneh, tidak masuk akal, namun nyata.

Sebenarnya, ada kisah lain dalam cermin itu. Kami menamainya "Penunjuk Jodoh". Cermin itu punya kesaktiannya sendiri. Ukiran bersayap perak itu berpendar tiap kali ingin menunjukkan sesuatu. Sesuatu bernama jodoh, mate, pasangan sehidup semati, atau apapun kalian menyebutnya. Dulu, Ayahku melihat ibu di cermin itu. Beberapa hari kemudian Ayah bertemu Ibu dalam sebuah kecelakaan dan mereka jatuh cinta. Mereka menikah dan aku lahir.

Lalu bibiku juga sama. Bibiku melihat pamanku di cermin itu. Waktu itu mereka memang sedang berpacaran. Lalu tiga bulan kemudian mereka juga menikah.

Cermin itu aneh, misterius, ajaib, namun juga mengganggu. Terkadang kami mendengar suara tawa dari sana. Tawa anak kecil yang sedang bernyanyi gembira. Atau tangisan nenek-nenek yang menyayat.

Kata ibuku, mereka menangis karena kehilangan pasangan. Dulu ketika aku masih kecil, aku takut dengan cermin itu. Aku selalu menangis ketika melihatnya. Namun lama-kelamaan aku makin terbiasa. Suara-suara aneh itu sudah jadi bagian dari rumah kami.

"Apa yang kau lihat, Ger?" Ayahku muncul tiba-tiba ketika aku tengah memperhatikan cermin itu. Aku terkejut dan menoleh spontan.

"Tidak ada." Aku berbohong.

Sejujurnya, aku melihat sebuah istana. Istana perak, dengan kaca-kaca yang menyerupai kristal. Aku juga akan mengalami masa dimana aku bisa melihat calon jodohku. Nanti, di usia delapan belas. Aku tidak terlalu menghayati peran, namun aku percaya saja apa kata cermin itu.

Banyak orang yang mengidamkan jodohnya sesuai kriteria, namun aku lebih sederhana. Aku hanya ingin wanita yang sederhana dan setia. Cukup begitu saja. Aku tidak terlalu berharap dengan wanita cantik, meski aku tak menolak kalau diberikan yang seperti itu.

"Seminggu lagi giliranmu." Ayahku berbisik, tersenyum setelah itu.

"Meski aku melihatnya, namun aku belum tentu menikahinya saat itu juga, Ayah!" keluhku kesal. Ayahku mengangguk.

"Setidaknya kau tahu, jadi kau bisa menjaga hatimu agar setia padanya. Kau tahu, dulu aku dan ibumu...." Ayahku mulai bicara panjang lebar, bercerita banyak hal hanya demi memamerkan kisah cintanya.

Aku diam saja, lantas nendengarkan cerita ayahku hingga habis. Ayahku senang sekali dengan dongeng dan petualangan. Bahkan lelaki itu juga bercita-cita untuk membangun sebuah kompleks yang memiliki latar seperti negeri Wonderland di cerita Alice.

"Gerviiiinnnn...!" Ibuku berteriak kencang.

Aku dan Ayah terlonjak kaget, lalu kompak menoleh ke arah ibuku. Ibuku baru datang dari shoppingnya bersama sepupuku, Reter. Lelaki itu mengerling ke arahku dengan wajah horror.

"Apa?" tanyaku cepat.

"Kenapa kau tidak bilang?" Reter bersiap mengomel lagi.

"Soal apa?"

Mirror, Mirror On The WallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang