2nd Layer: The Face

9.1K 1.1K 87
                                    

Aku masih terpaku di depan cermin itu, sementara bisikan tersebut masih terus melambai. Aku tidak takut, tetapi aku malah lebih ingin tahu. Bayangan itu masih berkelibat di depanku. Aku tercekat, terpaku. Menunggu kemunculan wajahnya kenapa lama sekali? Mataku mengerjap beberapa kali hanya untuk tahu siapa dia. Dia... tidak seseksi dalam bayanganku. Bahunya lebar.

Atlet renangkah?

Aku menunggu. Bayangan itu perlahan menampakkan diri. Mulai dari ujung tangannya, lalu siku dan bahunya. Lalu berhenti.

Jantungku berdegup kencang. Wajahku mendekat ke arah cermin itu, hingga wajah yang kutunggu muncul di sana. Seraut wajah dengan rambut perak dan hidung mancung. Ada tanda berwarna hitam legam, membentuk sebuah bulan sabit di dahinya. Matanya sipit dan biru. Aku tercekat. Wajahnya seperti lukisan. Terpahat sempurna dengan indah. Tetapi, dia tidak seperti dugaanku.

Dia... tidak memiliki dada. Bukan dada dalam arti harfiah tentunya, melainkan dada yang itu. Yang menggelayut, yang biasanya dibungkus dengan sehelai benda bernama bra. Awalnya kukira dia hanya seorang wanita berdada kecil.

Namun aku sadar, pemikiranku tidak sesederhana itu.

"Namamu?" Dia bertanya dingin padaku. Aku mengedip beberapa kali setelahnya. Suaranya masih seperti lelaki.

Sesuatu di lehernya bergerak ketika dia bicara. Itu sesuatu yang juga kumiliki. Itu yang kusebut jakun.

Dia bergerak mendekat ke arahku. Bajunya berkibar tertiup angin. Hutan pinus terlihat di sekitarnya. Abs-nya menggodaku. Aku tercengang. Tubuhku menegang.

Dia... memang lelaki.

"Kau laki-laki?" tanyaku cepat.

Dia membisu. Wajah dinginnya makin mengusik. Seharusnya tidak sesulit ini. Selama ini aku tidak pernah peduli dengan orientasiku. Aku suka dada wanita, namun aku juga mencintai dada pria. Aku biseks. Aku sadari itu akhir-akhir ini. Keluargaku juga terbuka dengan gay.

Seharusnya tidak sulit untuk mencintainya. Namun, kali ini rasanya berbeda.

Aku menggeleng ragu, lalu berbalik cepat. Aku kembali ke kamarku. Rasa haus yang sempat menyapa kini sudah hilang entah kemana. Aku menelusup di balik selimut, memejamkan mata paksa setelah itu.

"Ada apa?" Reter menoleh begitu aku menempel erat ke arahnya.

"Reter, aku melihatnya," bisikku pelan.

Reter menoleh ke arahku, mengerjap setelahnya. Ia tersenyum, lalu duduk dengan wajah antusias. Ia menghidupkan lampu kamarku setelah itu.

"Bagaimana? Bagaimana?" Ia begitu antusias, menunggu ceritaku.

Aku menghela napas. Aku hanya ingin berjodoh dengan wanita yang sederhana dan tak banyak maunya. Wanita yang baik, yang bisa melengkapi hari-hariku bersama anak-anakku nanti.

"Apanya yang bagaimana?" Aku balas bertanya.

"Jadi, siapa yang kau lihat? Apa dia cantik? Bagaimana?"

Melihat raut antusias Reter, aku menghela napas lagi. Reter tersenyum, menunggu.

"Bagaimana kalau jodohku adalah lelaki?"

Kamarku hening dalam beberapa detik. Aku menunduk, lalu melirik Reter takut-takut. Takut dia terluka nantinya. Maksudku, aku tahu bagaimana perasaan Reter. Dia gay. Aku masih bisa dengan wanita. Kalau sampai jodoh Reter wanita bagaimana?

Kemungkinan terburuknya adalah Reter memaksakan diri untuk jadi straight. Seharusnya tidak ada masalah kalau saling cinta, bukan? Reter bisa mengenalnya lebih jauh dulu.

Mirror, Mirror On The WallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang