Sekolah Menengah Atas XY

1.1K 34 1
                                    

*Halya's POV*

Hai , Namaku Halya Pradyani. Aku adalah siswi kelas 11 , dengan jurusan yang sangat banyak diincar para lulusan SMP, yaitu MIPA. Hari ini, aku harus pindah sekolah ke Surabaya karena suruhan dari bos ibuku yang menyebabkan ibu harus bekerja di sana, kami hanya hidup berdua saja. Syukurnya, ibu mendapatkan tempat tinggal yang dekat dengan sebuah sekolah negeri, SMA XY.

Setelah ibuku dan aku selesai mendaftarkan dan mengurus kepindahanku selama tiga hari, termasuk mempersiapkan sarana dan prasarana untuk aku belajar, aku pun menginjakkan kaki ke sekolah yang luas itu untuk melaksanakan kewajiban seorang siswa. Kelasku berada paling pojok gedung kelas 11, kelas 11 IPA 5.

Aku sudah terbiasa pindah sekolah, baik itu pindah ke sekolah yang ada di kabupaten sebelah, provinsi sebelah, bahkan saat aku SD, aku pernah bersekolah di Singapura selama 3 tahun. Karenanya, aku sudah biasa dengan pandangan mata menganalisis dan merasa asing dengan keberadaanku yang diberikan oleh warga sekolah di mana pun aku pindah, mengenalkan diri di depan kelas pun itu bukanlah sebuah momok lagi buatku.

Walaupun begitu, tiap libur kenaikan kelas, aku dan ibuku akan pulang ke kampung halaman kami yaitu di Singaraja, tempat di mana ibuku dan keluarganya lahir. Sedangkan aku lahir di Samarinda, saat ibuku dan ayahku sedang dalam masa mutasi oleh perusahaan.

Mungkin kalian heran mengapa aku tidak menyebut Ayahku, aku akan memberitahu sedikit saja, ia dan keluarga besarnya mungkin sedang merayakan lahirnya anak kedua dari istri baru ayahku itu. Aku mengetahuinya setelah mengintip akun media sosial ayahku secara anonim. Biarlah mereka bahagia, asalkan mereka tidak lagi menyakiti hati ibuku dan aku seperti 5 tahun silam.

Tuhan kami memberkati kami, Beliau memisahkan ibuku dari ayah, baik di dalam rumah maupun di lingkungan kerja ibuku, seolah-olah manusia kurang ajar itu tak pernah ada.

Lupakan.

Setelah memarkirkan motor bebek milikku di parkiran sekolah, aku mengecek dua buah jarum beda ukuran di jam tanganku.

"Pukul 06:10 , sepertinya banyak waktu untuk mengitari sekolah baruku ini." Pikirku.

Ternyata, tidak.

Betapa bodohnya aku karena malah keasikan berdiam diri di rooftop untuk memandangi kegiatan para murid di sekolah swasta berakreditasi A ini. Rata-rata dari mereka mengendarai mobil sehingga cukup membuat kemacetan di gerbang utama, apalagi jika sudah detik menuju bel masuk.

Syukurnya aku mampu dengan cepat menemukan kelasku. Uniknya, pertama kali aku ditempatkan di bangku tengah, biasanya aku selalu mendapat tempat duduk di belakang karena aku adalah murid tambahan. Aneh, bangku di sebelahku masih kosong padahal jam sudah menunjukkan pukul 07:19.

"Apakah ia terlambat, atau tidak masuk? Semoga saja ia terlambat, aku tidak ingin duduk sendiri." Monologku di dalam hati.

Seperti yang diduga, atensi siswa dan siswi tertuju kepadaku selagi wali kelas ku dan guru pengajar belum memasuki kelas. Beberapa dari mereka bahkan mengajak kenalan. Dan dengan mudahnya pula aku mengenal sifat mereka melalu aura yang terpancar dari tubuh mereka.


Entah kenapa, aku bisa merasakan dan membaca sifat manusia berdasarkan aura mereka, sebuah anugerah.

-----------------------
Sudah 45 menit wali kelasku mengajar mata pelajaran jam pertama sampai ketiga, teman sebangku ku juga belum menampakkan batang hidungnya.

Tok tok tok

"Silahkan masuk. Oh Aria, sudah selesai urus keterlambatanmu di ruang BK?" Tanya Bu Sintia sambil menggambar dan menulis penjelasan mengenai lapisan kulit manusia di atas papan.

"Sudah bu, maaf saya terlambat. Saya sempat tidak enak badan sebelum menuju ke sekolah." Ucap gadis berambut lurus sepundak itu.

"Terus kenapa sekolah? Badanmu panas loh. " khawatir Bu Sintia sembari menempelkan telapak tangannya pada dahi gadis berkulit putih pucat itu.

"Saya ketinggalan banyak materi karena OSN kimia, jadi saya harus sekolah. Ini tidak apa-apa Bu, saya sudah bawa obat kok. " Balasnya.

Kemudian, gadis itu mencari tempat duduknya. Sudah bisa ditebak bukan ia duduk di mana?

"Salam kenal, namaku Halya. " Sapaku padanya yang sedang meletakkan buku pelajaran di atas mejanya.

"Maria Vanyasari, Aria." Jawabnya tanpa sedikit pun melirikku yang tengah menjulurkan tangan kananku ke arahnya, lebih menarik buku Biologi daripada aku.

Kenapa aku baru menyadari jika anak ini bermulut rapat, padahal terang sekali ia memiliki sifat itu saat ia berbicara seadanya dengan wali kelas kami tadi, auranya bernuansa kalem dan dingin.

Aku menjadi tertarik untuk mendekatinya.

Akhirnya, jam pelajaran Biologi telah tergantikan dengan istirahat selama 15 menit, namun Aria tetap saja tidak menganggap aku ada.

"Sialan, sama saja seperti bangku di sebelahku ini kosong." Cakapku dalam hati dengan nada sedikit kesal.

Tetapi aku tak akan menyerah. Instingku mengatakan bahwa aku harus akrab dengannya, ini hal yang langka terjadi pada diriku.

Aria memang cuek padaku, tapi untungnya ada tiga siswi lain di kelas ini mendekatiku dan sudah bisa ditebak juga, mereka mengajakku ke kantin dan berakhirlah kami berempat mengobrol selagi menunggu pesanan masing-masing datang ke tempat kami duduk.

Sepulang dari kantin, melihat Aria makan di bangkunya seorang diri membuatku ingin bertanya pada Eli , salah satu teman baruku.

"Eli , dia biasa gitu ya? " Tanyaku sambil melirik Aria yang sibuk memasukan potongan sosis goreng terakhir itu ke dalam mulutnya. Dan dilanjutkan meminum obat yang ia bawa.

"Biasa apaan?" tanya gadis dengan tinggi sekitar 168 cm yang kebingungan dengan pertanyaanku.

"Menyendiri." jawabku.

"Yoi, dia memang gitu sejak kelas 10 , aku sama yang lainnya berkali-kali membujuknya untuk makan bersama atau apapun itu, tapi ia terus menolak dengan halus, ya apa boleh buat kami juga sudah jengah. " sambar Bella yang diam-diam menyimak pertanyaanku.

"Mungkin dia anti manusia, buktinya dia gak pedulian dan selalu menyendiri , bahkan pas kerja kelompok dia cuma minta tugasnya dan ngerjainnya sendirian." Sarkas Patricia.

"Mulutmu, siapa tau dia ada masalah yang sangat besar atau trauma sehingga ia jadi anti sosial gini. " jawab Eli setelah sedari tadi disela oleh dua temannya.

"Ooh.. " Lirihku yang mewakilkan perasaan tertarikku yang semakin membuncah untuk mendekati Aria.


Dekati atau tidak?

Topeng yang 'Sempurna'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang