"Kamu tak pernah tahu, betapa besarnya cintaku ini."
-Elizabeth Gilbert-
Aku berjalan mengikuti langkah besarnya menyusuri lorong kelas. Diam tanpa suara, hanya derap langkah kami yang terdengar. Pandanganku menatap ke bawah, melihat lantai yang memantulkan wajah gelisahku. Pikiranku berkecamuk dengan apa yang akan dilakukan pria ini selanjutnya.
Apa dia akan menghukumku? Kemungkinan besar, ya. Apakah akan menggorok leherku? Melihat pandangannya seperti tadi bisa jadi dia tega. Ataukah dia akan menyuruhku mengulang kelas tahun depan? Ya ampun, jangan sampai Tuhan!
Seketika aku bergidik ngeri saat bayangan harus mengulang lagi kelasnya tahun depan itu terlintas. Mati aku! Bisa-bisa beasiswaku dicabut.
"AU!!!"
Sontak kuusap dahiku saat membentur sesuatu yang keras. Mataku makin melebar melihat tubuhnya menjulang tinggi di hadapanku. Kutelan ludah melihat bentuk dadanya yang tercetak jelas di balik kemeja putih yang dia pakai.
Kinanti, tidak. Ini godaan duniawi!
"Bisakah matamu digunakan dengan baik saat berjalan?"
Aku menganga mendengar perkataannya yang cukup kasar. Segera kubungkam mulut dan berkata, "Maaf saya tidak melihat dokter berhenti."
Wait! Dia berbahasa Indonesia? Berarti dia masih mengingatku. Tapi kenapa sikapnya begitu tak acuh?
Kulihat dia membuka pintu ruangannya.
Rapi.
Satu kata untuk pria ini saat melihat tatanan kantornya. Wajar melihat dia yang typical pria perfeksionis.
"Duduk!" perintahnya bossy. Sekali lagi ini sangat cocok dengan karakternya yang menyebalkan.
Namun, aku bingung harus duduk di mana, ada sofa yang cukup empuk di sebelah kiri ataukah kursi yang berada di depan mejanya. Baiklah aku akan duduk di sofa itu. Segera aku beranjak dan duduk manis di atasnya.
Oh ... rasanya empuk sekali.
Kembali kulihat pria itu. Namun, senyumku dalam sekejap memudar saat menangkap tatapannya yang begitu tajam.
"Apakah kau tamuku di sini?"
Eh? Aku salah duduk ceritanya?
"Maaf," ucapku, kemudian beranjak menuju kursi di depan mejanya.
Setelah mengambil duduk, pandanganku meneliti keadaan ruangannya lebih jauh. Jendela besar yang berada di belakangnya, menampilkan suasana pedesaan Wageningen yang asri. Jika aku memiliki kantor seperti ini, aku akan berlama-lama di ruanganku untuk menikmatinya sambil menyesap segelas cappuccino hangat.
Pandanganku beralih menatapnya yang hanya diam melihatku sambil bersedekap. Kembali kukondisikan mataku untuk menunduk memandang meja. Terang saja, suasana mendadak sunyi senyap. Udara yang berhembus melewatiku pun rasanya mampu mengangkat bulu romaku. Aku tetap memilih diam menunggunya berbicara. Oh, aku sungguh benci situasi seperti ini. Sikapnya benar-benar membuatku canggung. Kubenahi dudukku saat rasanya sedikit tak nyaman.
"Aku benci mahasiswa ceroboh."
Seketika bola mataku bergerak melihatnya. Kubasahi tenggorokanku yang terasa kering kerontang ketika matanya memandangku tajam. Kembali pandanganku turun melihat remasan tangan di balik meja. Helaan napas pelan keluar dari bibirku, debaran jantung ini rasanya begitu tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VERBORGEN LIEFDE (Available On Play Books)
General Fiction◽Genre : Romance & suspense. ◽Writer : Riantifebri. ◽Status : Completed at Nov 2016 & get full story on Play Books (bit.ly/VerborgenLiefde). Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan merebutnya dari kehidupanmu...