1| - The Way of Life -

13.1K 917 5
                                    

"Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow."

-Soe Hok Gie-


"Gak ada, ya? Yah, padahal udah tahap akhir."

Gerutuan beberapa wanita di sampingku yang menatap tempelan kertas pengumuman seperti kulakukan saat ini, terdengar cukup nyaring. Mataku menatap kosong daftar nama tersebut tanpa berekspresi sedikit pun. Rasanya seperti kebal dengan situasi ini.

Derap langkah mereka terasa makin jauh. Aku pun menoleh menatap sekeliling, dan baru kusadari tersisa aku sendiri di sini.

Kuhela napas berat, lalu berbalik meninggalkan lantai ini. Dentingan lift yang terdengar di seberang membuatku mendongak untuk melihat suasana lobi yang kulewati. Terlihat beberapa orang tengah berdiri menanti terbukanya pintu bilik besi tersebut. Mengenakan kemeja suit yang aku yakini harganya tak main-main, saling berbincang satu sama lain.

Andai itu aku.

Pandanganku beralih pada tulisan besar yang terpampang di dinding lobi utama.

Valeo Pharmaceutical Inc.

Mungkin hari ini belum rezekiku. Aku tak boleh menyerah. Aku yakin masih ada kesempatan lain untuk menduduki posisi itu.

Oh, jangan bodoh, Kinan. Untuk bidang sarjana aja kamu gak lolos, apalagi bidangnya magister. Pikirkan dulu beasiswa S2-mu lolos apa gak?

Kutertawai diriku sendiri yang terlalu banyak rencana. Bisa-bisa aku gila dengan khayalanku yang terlalu tangguh.

Kumantapkan langkah menuju lahan parkir. Mengambil kunci dari dalam tas dan segera memakai helm untuk bersiap melewati jalanan ibu kota. Sejenak kulihat jam di pergelangan tanganku.

"Oh, Tuhan. Aku terlambat!" Segera aku naik ke atas motor dan menarik gas meninggalkan gedung ini.

***

Bola mataku bergerak cepat meneliti laporan praktikum mahasiswa semester 4 yang menjadi anak bimbingku. Menelaah satu per satu lembar laporan yang kupegang. Mengingat deadline penilaian sudah makin dekat, pengoreksian lembar kerja beberapa kelompok ini harus segera kuselesaikan.

"Masih lama?"

Kutolehkan wajahku ke belakang mencari sumber suara tersebut. Ardi memandangku sambil memakai jaket hitamnya.

"Lumayan, harus selesai sekarang. Kamu mau pulang?"

Dia mengangguk. "Kamu gak apa-apa aku duluan? Lihat sih kurang berapa banyak," dia berjalan mendekatiku, "wih, banyak banget. Yakin kamu mau nyelesain sekarang juga?"

Kusandarkan punggung dan menghela napas dalam. "Mau gimana lagi. Kalau gak selesai sekarang, proses penilaian di Bu Rita jadi lama. Kasihan anak-anak kelamaan nunggu KHS-nya."

Dia kembali mengangguk membenarkan perkataanku. "Tapi tetep jangan terlalu di forsir. Lagian jadi asdos kok banyak banget."

Seketika aku tertawa mendengar sindirannya. "Kamu taulah, aku kan kejar setoran."

"Ini mah gak kejar setoran lagi, tapi balap setoran," timpalnya yang membuat tawaku makin lebar.

"Ya, udah pulang sana. Istrimu udah nunggu di rumah," ucapku sambil mendorongnya menjauh dari sisiku.

"Aku pulang dulu, ya. Kalau butuh sesuatu just call me, ok?"

Kuacungkan jempol padanya. "Hati-hati di jalan, Bang."

VERBORGEN LIEFDE (Available On Play Books)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang