"Hatimu penuh dengan bibit-bibit subur, yang menunggu untuk tumbuh."
-Morihei Ueshiba-
"Ah! Susah sekali, sih, ngambilnya."
Sedikit lagi, kurang sedikit lagi.
"Akhirnya!" Kugenggam buku yang kudapat dari deretan rak tinggi. Aku berjalan menuju meja di mana kuselesaikan semua tugasku.
Kubuka halaman buku yang akan kujadikan sumber pustaka. Setelah menemukannya, segera kuketik pada keyboard laptop. Mataku silih berganti mengamati tulisan antara layar laptop dan buku. Hingga kurasa sebuah getaran pada saku celana mengganggu konsentrasiku.
Sambil terus menatap layar, kurogoh saku untuk mengambilnya. Kulihat sekilas benda tersebut sebelum mengangkatnya.
"Halo, kenapa, Fik?"
"Nan, kamu tahu bedak aku gak?"
Seketika keningku mengernyit. "Ya mana aku tau, Fik. Aku gak pernah pakai bedakmu. Di lemari mungkin, udah diperiksa?" Kuselipkan ponsel di antara pipi dan bahu. Kembali kuketik kata-kata yang kubaca dari buku tebal ini.
"Gak ada, Nan. Aku udah berantakin kamar belum ketemu juga. Mana mau ada kelas lagi."
"Ya udah, sementara gak usah pakai bedak dulu, nanti aku bantu cari deh," balasku sambil membenarkan ketikanku.
"Ck, gak enak, Nan, kalau gak bedakan. Kayak gak mandi."
Sontak aku tertawa mendengar gerutuannya. "Ya udah, pinjem bedakku dulu, tapi aku masih di perpus nih. Mau nunggu gak?"
"Aduh ... kelamaan. Palingan kamu balik sore. Ya udah, aku nyoba nyari lagi, deh."
Suaraku tertahan saat mendengar sambungan terputus sepihak. Kulihat layar ponsel untuk memastikannya. Aku menggeleng mengingat kelakuannya. "Rempong banget."
Kuletakkan ponsel di atas meja dan kembali melanjutkan pekerjaanku. Pandanganku terus menelusuri paragraf demi paragraf yang tertulis pada buku. Sesekali kulihat layar laptop saat mengetiknya ulang.
Saat ini aku begitu bersemangat setelah menemukan bahan tulisan yang kuperlukan, mengingat buku ini cukup sulit didapat. Pergerakan tanganku makin cepat dan sesekali membalikkan lembar buku yang ada di sampingku. Hingga akhirnya, mejaku kembali bergetar karena ponsel di atasnya. Kubuang napas berat sebelum mengangkatnya.
"Apa lagi, Fik. Langsung berangkat aja deh, gak usah pake bedak." Kembali kuselipkan ponsel antara bahu dan pipiku. Tanganku terus mengetik deretan abjad pada tombol keyboard.
"Bisa tidak melihat layar ponselmu dulu sebelum bicara."
Sontak kujauhkan ponsel untuk melihat layarnya. Nomor siapa ini?
Kembali kudekatkan ponsel pada telinga. "Halo, maaf ini dengan siapa?"
"Kau lupa dengan janjimu hari ini? Mau mengulang lagi kuliahmu tahun depan?" semburnya tiba-tiba.
Mati aku! Ini hari apa, ya?
Segera kulihat kalender melalui laptopku. Mampus! Hari Kamis.
"Maaf, Dok, saya lupa kalau hari ini hari kamis. Saya—"
"Cepat ke ruanganku sekarang!" selanya dan memutus sambungan sepihak. Kutatap layar ponsel begitu sebal.
"Monster."
Segera kusimpan data yang telah kuketik dan merapikan barang-barangku. Kutinggalkan perpustakaan dan beranjak menuju kantornya. Sedikit aku berlari mengingat ruangannya yang berada cukup jauh dari perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VERBORGEN LIEFDE (Available On Play Books)
Ficción General◽Genre : Romance & suspense. ◽Writer : Riantifebri. ◽Status : Completed at Nov 2016 & get full story on Play Books (bit.ly/VerborgenLiefde). Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan merebutnya dari kehidupanmu...