Gue suka Jakarta malam hari.
Lengang jalannya, lampu kotanya, geliat kehidupannya.
Gue suka nyetir tanpa tujuan muterin Jakarta tengah malem kalau lagi penat, ujung-ujungnya cuma berhenti di Sabang beli nasi goreng terus pulang. Tapi setelah itu gue akan sedikit lega dari sebelumnya. Jakarta malam hari adalah anti-depresan gue, if that even makes sense.
Tapi malam ini lain, Jakarta malam ini rasanya bukan lagi anti-depresan tapi sianida. Gue mencengkram setir erat-erat berusaha sekuat tenaga untuk fokus ke jalanan yang mulai menyepi di depan gue karena dia ada di sebelah gue. That's a pretty hard thing to do, apalagi kalau mengingat fakta dia keliatan cantik banget malem ini dalam balutan terusan monokrom simple dan sepasang sepatu dengan hak tinggi. Rambutnya digerai jatuh menutupi sepasang bahu mungil yang rasanya pengen gue rengkuh dan gak akan gue lepas sampai kapan juga.
Sayang sejuta sayang, dia bukan milik gue.
"Filmnya seru ya tadi" dia membuka mulut untuk yang pertama kalinya sejak kita meninggalkan bioskop 30 menit yang lalu.
"Iya. Seru"
Hanya itu yang bisa gue katakan. Shit, Brian can you find something more interesting to say? Gue merutuki diri sendiri dalam hati.
Kemudian hening kembali menyusupi mobil ini. Lampu merah di depan menyala, meski jalanan sudah benar-benar lengang, tapi sebagai pengendara yang budiman gue memutuskan untuk tetap menghentikan laju mobil gue. Istirahat sejenak sekaligus menata degup jantung gue yang mulai gak karuan—karena apalagi kalau bukan karena si dia yang sekarang sedang melongok keluar jendela menatap jalanan dan kerlip cahaya gedung-gedung tinggi dengan tatapan kosong.
"Jangan bengong nanti kesambet" ujar gue berusaha se-kasual mungkin.
Because that's what we are, right? Casual friends. Just... casual.
Dia menoleh kearah gue kemudian tersenyum tipis tapi tidak membalas apa-apa, melainkan lanjut memandang keluar jendela.
Lampu merah berganti hijau dan gue kembali menekan pedal gas membawa mobil ini kembali menyusuri jalanan ibukota yang lengang.
"Mau kemana kita sekarang?" tanya gue akhirnya, lelah dengan atmosfir canggung yang tebal memenuhi ruangan mobil.
"Gue belum mau pulang"
Hanya itu. Gue menghela nafas.
"Tapi bayarin bensin ya?" kali ini gue mencoba bercanda, karena in all honesty, mau dia suruh gue untuk sekarang juga nyetir keluar kota pun akan gue jabanin tanpa perlu membebani dia dengan urusan remeh seperti uang bensin contohnya.
Dia menoleh kemudian terkekeh pelan. "Still as stingy as ever ya, Bri"
Hati gue rasanya kayak langsung kena AC 2pk saat mendengar tawanya, adem. "Semuanya kan harus pakai perhitungan"
Dia tertawa lagi, kali ini setingkat lebih nyata daripada hanya sebuah kekeh pelan. "Ckck dasar businessman"
Tawanya ternyata masih memiliki efek yang sama buat gue, adiktif walaupun menghancurkan gue pelan-pelan dari dalam. Ya, menghancurkan karena selamanya gue gak akan pernah jadi pemilik resmi si empunya tawa.
Gue melirik jam yang melingkar di tangan gue sekilas, udah lewat tengah malam.
"Lo gak mau pulang? Udah jam segini, nanti dicariin...?"
Dia menggeleng. "Nope. Bokap nyokap lagi gak di rumah, lagipula gue bawa kunci"
"What about your...?"
Dia terdiam untuk beberapa saat kemudian menatap gue dengan tatapan yang sulit diartikan. "Are we gonna talk about it now, Bri? Out of all times?"
Gue mengangkat bahu defensif, gue tau apa yang akan terjadi setelah ini. Kayak lingkaran setan, it goes on over and over again. "Gue kan cuma nanya, siapa tau dia nanti marah?"
Dia menghela nafas kemudian kembali memalingkan wajahnya menatap keluar jendela mobil. "Fine I'm going home now"
"Dia tau?" akhirnya gue memberanikan diri untuk bertanya.
Butuh beberapa detik sampai gue mendapatkan jawaban yang hanya berupa gelengan samar.
Gue diam. Dia diam. Hening kembali menyergap seraya gue memacu mobil menuju jalanan yang sudah gue hafal di luar kepala.
"I can never win, do I?"
Gue akhirnya kembali bersuara setelah menit-menit penuh keheningan yang rasanya menyiksa. Mobil perlahan berhenti di depan sebuah pagar familiar yang mungkin sudah gue hafal setiap lekuk ukiran dan karatnya. Dia tidak bergerak dari tempatnya, tapi tidak juga merespon pertanyaan gue, yang sebenarnya gue juga sudah tau apa jawabannya.
"Maaf"
Lagi-lagi hanya itu jawabnya.
Fuck it.
Sebelum dia sempat bergerak untuk membuka pintu mobil, tangan gue sudah lebih dulu menyambar lengannya dan menarik dia mendekat. Hanya butuh beberapa detik sebelum bibir gue menemukan bibir dia dalam gelap. Dia diam, gak merespon tapi juga gak mendorong gue menjauh apalagi berteriak memanggil satpam komplek. Apa gue harus bersyukur karena itu?
Gue cium dia seperti itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya gue menyerah. Kalah. Jawabannya sudah pasti, gue aja yang terlalu bodoh berharap jawaban itu suatu saat akan berubah.
"Maaf" kali ini kata itu keluar dari bibir gue dalam sebuah bisik lirih.
I can never win. Ever.
Tolong menetap utuh karena aku letih berbagi
Mampukah kekasihmu setangguh aku?
Menunggu tapi tak ditunggu
Bertahan tapi tak ditahan
Juara Kedua – Fiersa Besari
KAMU SEDANG MEMBACA
Songfic - Enam Hari
Teen FictionKoleksi cerita pendek dari personil Enam Hari band dan lagu. - a day6 fanfiction